Intime – Pengamat Pemerintahan Universitas Pamulang, Muhammad Akbar Maulana, menyatakan publik berhak melakukan evaluasi jujur dan terbuka terhadap kinerja pemerintahan sepanjang 2025. Penilaiannya bukan pada jumlah program atau regulasi, tetapi pada esensi kehadiran negara.
“Pertanyaan sederhananya, apakah negara benar-benar hadir dan bekerja efektif bagi warganya sepanjang tahun ini?” kata Akbar dalam pernyataannya, Sabtu (20/12).
Akbar menilai, dari luar pemerintahan tampak sibuk dengan rapat, peluncuran program, penyerapan anggaran, dan penyusunan laporan. Namun, kesibukan itu dinilainya tidak identik dengan kemajuan.
Di sektor layanan publik, ia menyoroti digitalisasi yang hanya sekadar ganti medium. “Teknologi sering kali hanya mengganti meja pelayanan dengan layar gawai, tanpa perubahan sikap dan budaya birokrasi. Keluhan masyarakat tetap sama: lambat dan berbelit,” ujarnya.
Dalam ekonomi, pemerintah dinilai hanya fokus pada menjaga stabilitas agar tidak jatuh lebih dalam, bukan mendorong mobilitas sosial warga. “Lapangan kerja terbatas, daya beli belum pulih sepenuhnya, dan kelompok rentan tetap rapuh,” tambah Akbar.
Ia juga menyoroti persoalan klasik koordinasi yang belum membaik. Kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah dinilai membuat masyarakat bingung.
“Negara seolah belum selesai berdialog dengan dirinya sendiri,” tegasnya.
Selain itu, komunikasi publik pemerintah dinilai masih lemah, defensif, dan minim empati. “Dalam demokrasi, kritik adalah alarm perbaikan, bukan ancaman,” ucap Akbar.
Menjelang 2026, Akbar menekankan bahwa pemerintah harus berani berbenah secara serius. “Berbenah berarti berani mengakui kekurangan, bukan sibuk membangun narasi keberhasilan semu,” katanya.
Ia mendorong birokrasi beralih dari kepuasan atas laporan administratif menuju pengukuran berdasarkan kepuasan dan kepercayaan publik. “Negara yang kuat adalah negara yang mau bercermin. Jika 2025 penuh kesibukan, 2026 harus diisi keberanian untuk berubah,” pungkasnya.

