Intime – Pemerhati Sosial Ekonomi Politik Malika Dwi Ana menilai cita-cita Reformasi 1998 yang lahir dari perjuangan rakyat melawan rezim Orde Baru telah mengalami penyimpangan mendalam.
Ia menyebut proses reformasi justru berubah menjadi deformasi sistemik yang membuka jalan bagi penetrasi kepentingan kapitalis global melalui perubahan konstitusi, kebijakan ekonomi, hingga proyek strategis nasional.
Menurut Malika, amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pada 1999–2002 menjadi titik awal bergesernya orientasi ekonomi Indonesia. Pasal 33 yang sebelumnya menekankan asas kekeluargaan dan kedaulatan negara atas cabang produksi penting kini diinterpretasikan lebih liberal.
“Prinsip efisiensi yang ditambahkan membuka ruang privatisasi dan deregulasi yang menguntungkan modal besar,” ujar Malika, Kamis (11/12).
Ia juga menyoroti Pasal 18B mengenai pengakuan hak ulayat masyarakat adat yang disebut semakin tergerus oleh pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Malika menyebut sejumlah kasus, seperti di Rempang dan Wadas, sebagai contoh bagaimana pembangunan kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
“Konflik agraria meningkat seiring dengan perluasan PSN,” katanya.
Lebih jauh, Malika menilai intervensi neoliberal mulai menguat sejak bailout IMF tahun 1998 yang mensyaratkan privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar. Kondisi ini, lanjutnya, diperparah oleh meningkatnya pengaruh Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI) sejak era pemerintahan SBY dan semakin dominan pada masa Presiden Joko Widodo.
Ia menilai dominasi investasi asing turut memicu peningkatan utang negara, impor pangan, hingga masuknya tenaga kerja asing di sektor industri.
Malika mengatakan situasi tersebut telah menimbulkan berbagai dampak sosial, termasuk tingginya angka stunting dan penurunan kualitas sumber daya manusia.
Ia pun mendorong reformasi lanjutan agar kedaulatan ekonomi dapat dipulihkan. Beberapa langkah yang ia usulkan adalah penguatan kembali Pasal 33, audit utang berbasis proyek BRI, perlindungan hak ulayat melalui moratorium PSN, serta investasi besar-besaran pada gizi dan pendidikan.
“Tanpa koreksi mendalam, Indonesia berisiko menjadi arena perebutan kepentingan global, sementara rakyat terus menjadi korban,” tutupnya.

