Ribuan Petani Turun ke Jalan pada Hari Tani Nasional, Desak Pemerintah Tuntaskan Masalah Agraria

Intime – Ribuan petani dari seluruh Indonesia akan turun ke jalan pada Hari Tani Nasional pada Rabu (24/9). Mereka menuntut pemerintah untuk menuntaskan masalah agraria.

“Melalui aksi ini, para petani akan menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan atas 24 masalah struktural (krisis) agraria akibat 65 tahun UUPA 1960 dan agenda reforma agraria yang tidak dijalankan lintas rezim pemerintahan,” ujar Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika di Jakarta, Selasa (23/9).

Nantinya, para petani bersama gerakan buruh, mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil lainnya akan menuju Gedung DPR RI untuk menuntut perbaikan.

Dewi menambahkan, gelombang protes rakyat yang terjadi secara serentak di Jakarta dan berbagai daerah sejak 25 Agustus 2025 lalu merupakan sinyal darurat terhadap rezim pemerintahan.

“Ini adalah manifestasi dari puncak kemuakan rakyat terhadap kinerja penyelenggara negara yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat,” tuturnya.

Dari sektor agraria, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi terbukti telah gagal menjalankan reforma agraria, sebab ketimpangan penguasaan tanah semakin parah, petani semakin gurem bahkan kehilangan tanah.

“Gugus tugas ini hanya menghabiskan uang rakyat dari rapat ke rapat, rakyat tetap tak punya kanal penyelesaian konflik agraria. Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Koperasi, TNI-Polri dan lembaga negara lainnya masih abai pada masalah kronis agraria,” katanya.

Dewi mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang menyebut bahwa satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam dan sumber produksi, sementara 99 persen penduduk berebut sisanya.

“Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir (2015-2024), sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Dampaknya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian dan masa depan,” katanya.

Konflik agraria terjadi, tambah Dewi, bukan saja karena gagalnya pemerintah menjalankan reforma agraria, namun juga karena proyek-proyek investasi dan bisnis ekstraktif skala besar yang terus dipaksakan. Padahal kaum tani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan harus dilindungi dan diakui hak konstitusionalnya oleh UU Reforma Agraria.

“Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, Badan Otorita Kawasan Strategis Pariwisata Nasional atau Kawasan Ekonomi Khusus, bank tanah dan militerisasi pangan terus meluas ke kampung-kampung dan desa, merampas tanah petani dan wilayah adat, menutup akses ke laut dan wilayah tangkapnya akibat sudah dikapling-kapling para pengusaha,” katanya.

“Baik pemerintahan Jokowi maupun pemerintahan Prabowo sekarang telah gagal melaksanakan reforma agraria yang telah diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), sebagai perwujudan Pasal 33 UUD 1945,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini