Sebaiknya APBN Tidak untuk Membiayai Vaksin Booster, Negara Bisa Menghemat Rp11 Triliun

Oleh Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik Universitas Veteran Jakarta dan Co-Founder Narasi Institute)

Beberapa media memberitakan bahwa Presiden Jokowi berkeinginan untuk memberlakukan syarat vaksin booster untuk perjalanan, memasuki mal dan aktivitas ekonomi lainnya. Hal ini,

tentunya menyesakkan bagi masyarakat. Selain sudah tidak diminati pemberlakukan syarat vaksin booster hanya membuat reputasi pemerintah semakin buruk dan keluar biaya APBN lebih banyak lagi.  

Vaksin boster telah banyak diakui ahli epidemilogi tidak banyak membantu mencegah warga dari Covid-19. Alasannya, psederhana karena herd Immunity sudah terbentuk sejak Maret 2022 baik karena vaksin atau karena penularan alami yang banyak terjadi di berbagai daerah.

Berdasarkan Data Kemenkeu, Anggaran vaksinasi untuk dosis pertama dan kedua terealisasi sampai Desember 2021 sebesar Rp33,28 triliun untuk 305.136.000 vaksin. Harga rerata vaksin adalah Rp110 ribu pershoot. 

Bila Indonesia mengakui sudah terbentuk herd immunity maka vaksin boster tidak perlu lagi menjadi kewajiban negara. Dengan begitu, APBN bisa menghemat sekitar Rp11 triliun bila ditargetkan 100 juta vaksin. 

Dana Rp11 triliun bisa direalokasikan untuk membantu subsidi minyak goreng dan subsidi Pertalite, Solar dan Gas LPG.

Menggunakan APBN untuk vaksin booster dimana efektifitasnya sudah tidak ampuh lagi mencegah Covid-19 karena sudah terbentuk herd immunity adalah langkah tidak bijaksana.

Tingkat bahayanya Covid-19 sudah tereduksi oleh vaksin pertama dan kedua. Negara cukup memberikan gratis untuk vaksin pertama dan kedua. Untuk vaksin ketiga dan seterusnya tidak perlu menggunakan uang negara lagi. Seperti orang yang ingin imunisasi khusus yang grade nya ingin di upgrade. Seperti halnya untuk vaksin maningitis. Masyarakat bisa membelinya sendiri.

Dalam perspektif kebijakan publik melihat perkembangan covid yang faktanya adalah virus tadinya fase pandemi saat ini sudah berangsur beralih ke fase endemi, dimana masyarakat sudah hidup berdampingan dengan covid. Dan tentunya menghilangkan covid itu sudah tidak bisa, seperti halnya batuk dan pilek yang fatalitinya sudah berkurang (sudah tidak berbahaya).

Oleh karena itu, pemberian vaksin booster ketiga atau keempat dengan menggunaan dana APBN ini sudah waktunya di stop. Jika negara mewajibkan malah mewajibkan untuk memberikan vaksin booster ini yang tidak didasari lagi oleh riset tapi sudah ada motif bisnis didalamnya maka hal ini harus diwaspadai dan harus di audit bersama. 

Masyarakat menjadikan vaksin booster saat ini harusnya menjadi salah satu opsional yang tidak perlu menggunakan lagi APBN. Masyarakat yang ingin vaksin booster bisa membayar sendiri.

Konsekuensi vaksin boster menjadi opsional (pilihan) adalah tidak boleh ada kebijakan memberlakukan syarat vaksin booster untuk perjalanan, memasuki mal dan aktivitas ekonomi lainnya. 

Langkah ini, akan mendukung pemulihan ekonomi lebih cepat karena masyarakat bisa melakukan mobilitas lebih simpel dan praktis.

Alasan kenapa demand vaksin booster rendah di masyarakat karena kampanye pemerintah sendiri yang mengatakan “mari hidup berdamai dengan covid19”. Kampanye tersebut juga disertai pembukaan tempat-tempat terbuka, taman-taman kota, pelaksanaan CFD, pelaksanaan even besar internasional seperti Motor GP, Formula E dan konser-konser musik dan olah raga bola. Semuanya itu menghasilkan perputaran ekonomu yang cukup baik.

Oleh karena itu, pemerintan seharusnya konsisten menjadikan vaksin booster menjadi opsional dengan begitu tidak hanya menghemat APBN. Namun, kredibilitas pemerintah akan semakin baik dan roda ekonomi akan pulih lebih cepat. Semoga.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini