Seknas Fitra Sebut Pidato Presiden Prabowo soal RAPBN 2026 Hanya Pencitraan

Intime – Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mengkritik pidato Presiden Prabowo Subianto terkait Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Menurut mereka, pidato Kepala Negara tidak mencerminkan kondisi dan realitas masyarakat yang sebenarnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Seknas Fitra, Misbah Hasan menyoroti soal proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun 2026 yang cenderung pencitraan dan tidak melihat masyarakat.

“Rata-rata pertumbuhan ekonomi tiga tahun sebelum pandemi (2017-2019) hanya 5,09 persen year on year (yoy), dan pasca pandemi (2022-2024) hanya 5,13 persen. Jadi proyeksi 5,4 persen jelas optimisme berlebih alias pencitraan,” kata Misbah dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (19/8).

Ia menilai capaian 5,4 persen akan sulit direalisasikan di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, perang tarif antar negara, hingga daya beli masyarakat yang belum stabil. Apalagi, konsumsi rumah tangga tiga tahun terakhir stagnan di angka 4,87 persen.

Misbah juga menyinggung masih banyaknya program perlindungan sosial, seperti PKH, Kartu Sembako, dan PIP, yang salah sasaran.

Selain itu, ia menilai reformasi perpajakan belum komprehensif dan cenderung membebani rakyat kecil. Pemerintah menargetkan pendapatan negara 2026 sebesar Rp3.147,7 triliun, dengan 85,5 persen di antaranya berasal dari pajak.

“Namun hingga kini, Sistem Pelayanan Perpajakan (Coretax) belum stabil sehingga kepercayaan masyarakat masih rendah. Lemahnya integrasi sistem penerimaan negara membuat akurasi data rendah, pengawasan lemah, dan sengketa perpajakan tinggi,” jelasnya.

Misbah menambahkan, penerapan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) juga memicu fragmentasi serta membuka potensi kesewenang-wenangan daerah dalam menaikkan pajak dan retribusi. Ia mencontohkan kasus terbaru di Kabupaten Pati yang bisa terulang di daerah lain.

Ia juga menyoroti minimnya transparansi belanja perpajakan (tax expenditure) yang diperkirakan mencapai Rp563,6 triliun. Menurutnya, alokasi terbesar justru terserap ke sektor industri pengolahan, sementara kebutuhan publik seperti air minum, sanitasi, pendidikan, dan kesehatan mendapat porsi kecil.

“Bidang perpajakan ini 50 persen lebih besar berasal dari PPN dan PPnBM, dengan 25 persen dialokasikan ke industri pengolahan. Sedangkan untuk air minum, pengelolaan sampah, dan sanitasi hanya 11 persen, jasa pendidikan 0,5 persen, dan jasa kesehatan 5 persen,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini