Intime – Dewan Pembina Federasi Pelita Mandiri, Achmad Ismail alias Ais, menilai sepanjang 2025 kondisi perburuhan nasional diwarnai berbagai kebijakan dan peristiwa yang menunjukkan makin jauhnya kesejahteraan buruh dari janji negara.
Menurutnya, perlindungan tenaga kerja melemah, hubungan kerja kian rapuh, serta kebijakan pengupahan belum menyentuh biaya hidup riil.
“Perlindungan melemah, hubungan kerja makin rapuh, dan kebijakan pengupahan tak menyentuh biaya hidup riil,” ujar Ais dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (26/12).
Ais membeberkan enam isu utama yang menjadi sorotan sepanjang 2025. Pertama, belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan baru terpisah dari UU Cipta Kerja. Hingga akhir 2025, RUU tersebut belum juga disahkan.
“Keterlambatan ini berdampak pada terus tergerusnya norma perlindungan buruh dan melemahkan wibawa konstitusi,” kata Ais.
Kedua, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meluas di berbagai sektor. Hingga November 2025, tercatat 79.302 pekerja terkena PHK atau meningkat 16,84 persen dibanding 2024. Ais menyebut angka riil kemungkinan lebih besar, tercermin dari data klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai 117.000 orang hingga Oktober 2025.
Isu ketiga adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang dinilai semakin permisif, sementara lapangan kerja domestik menyempit. Keempat, maraknya praktik hubungan kerja rentan seperti kontrak jangka pendek, outsourcing, hingga kemitraan tanpa kesetaraan.
Kelima, pengembangan kapasitas tenaga kerja yang tertinggal dari laju disrupsi teknologi. Terakhir, upah minimum yang dinilai terus defisit terhadap biaya hidup riil buruh.
Atas kondisi tersebut, Ais berharap 2026 menjadi momentum koreksi kebijakan. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak terus membiarkan kesejahteraan buruh kian tergerus.
“Tanpa perubahan arah kebijakan, perlindungan buruh akan terus menyusut sementara tekanan biaya hidup semakin berat,” pungkasnya.

