Service Charge Restoran dan Tiket Pesawat Hangus Bentuk Pungutan Liar terhadap Konsumen

Intime – Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyoroti praktik pengenaan biaya jasa pelayanan (service charge) yang kerap muncul tiba-tiba dalam struk pembayaran konsumen, khususnya di sektor makanan dan minuman.

Menurutnya, pungutan sebesar 10–15 persen itu kerap membuat konsumen terkejut karena tidak dijelaskan sejak awal transaksi, padahal konsumen telah dibebani pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai ketentuan.

“Untuk apa dan siapa biaya jasa pelayanan itu, sementara kewajiban pelayanan sudah melekat pada pengusaha?” kata Defiyan dalam keterangannya di Jakarta, Senin (29/12).

Ia menilai praktik tersebut menyerupai pungutan liar karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan dibebankan sepihak kepada konsumen.

Defiyan menjelaskan, praktik service charge telah jamak terjadi di restoran-restoran kota besar selama sekitar dua dekade terakhir. Sebagai ilustrasi, harga makanan Rp 1.000 setelah dikenakan PPN 10 persen menjadi Rp1.100, lalu masih ditambah service charge 10 persen sehingga total yang dibayar konsumen mencapai Rp1.200 atau lebih.

“Dalam kondisi ini konsumen bukan lagi subyek, melainkan obyek pungutan,” ujarnya.

Ia menilai praktik tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), khususnya Pasal 4 huruf i mengenai hak konsumen atas informasi harga yang benar, jelas, dan jujur.

Selain itu, Pasal 8 dan Pasal 10 UUPK juga melarang praktik penetapan harga yang menyesatkan dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara atau denda maksimal Rp 2 miliar.

Selain sektor makanan, Defiyan juga menyoroti praktik di sektor transportasi udara. Ia menilai konsumen kerap dirugikan ketika terlambat beberapa menit saat check-in, sehingga tiket yang telah dibeli dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah langsung hangus tanpa pengembalian.

Sebaliknya, kata dia, ketika maskapai mengalami keterlambatan penerbangan, kompensasi yang diterima penumpang sering kali tidak sepadan.

“Ini tidak adil. Keterlambatan penumpang dihukum penuh, sementara keterlambatan maskapai tidak diberlakukan setara,” kata Defiyan.

Ia mengusulkan agar pemerintah mendorong skema sanksi yang lebih proporsional, misalnya pengenaan persentase tertentu dari harga tiket, bukan penghapusan total.

Defiyan mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan, untuk menegakkan UUPK secara konsisten.

Menurutnya, praktik pungutan tidak transparan tersebut menjadi beban ekonomi konsumen dan bertentangan dengan nilai Pancasila serta prinsip keadilan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini