Intime – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai langkah yang memperberat beban politik pemerintahan saat ini.
Menurut Hendardi, keputusan tersebut menunjukkan bagaimana elite politik berisiko mengaburkan sejarah bangsa. Ia menegaskan bahwa publik harus terus dididik agar tetap memiliki kesadaran sejarah yang utuh dan rasional.
“Pesan kebangsaan dan kewargaan harus disampaikan kepada publik bahwa bangsa ini tidak boleh mengorbankan kepentingan bersama agar sejarah Indonesia berkontribusi bagi masa depan. Elite politik dan penyelenggara negara silakan saja kalau mereka mengalami amnesia sejarah, namun mereka tidak boleh memanipulasi sejarah bersama hanya karena mereka menguasai pemerintahan saat ini,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Selasa (11/11).
Hendardi menilai keputusan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto mencederai nalar publik. Ia menyinggung ketidakwajaran bila Soeharto dan aktivis buruh Marsinah—yang tewas pada masa Orde Baru dijadikan pahlawan pada tahun yang sama.
“Mana mungkin, Marsinah dan Soeharto menjadi pahlawan pada saat yang bersamaan. Marsinah adalah aktivis buruh yang dihilangkan nyawanya oleh rezim pemerintahan saat itu yang dipimpin dan dikuasai sepenuhnya oleh Soeharto,” ujarnya.
Ia menegaskan, bila pemerintahan Soeharto bersih dan tidak represif terhadap rakyat, reformasi 1998 tidak akan pernah terjadi. Karena itu, menurutnya, penganugerahan gelar tersebut melanggar logika moral dan hukum.
“Soeharto tidak layak dalam konteks itu dan penyelenggara negara tidak boleh melampaui hukum. Presiden dapat dilengserkan kalau melanggar undang-undang, melanggar sumpah yang diucapkannya saat pelantikan,” tegas Hendardi.
Lebih lanjut, Hendardi menilai Presiden Prabowo memiliki konflik kepentingan dalam keputusan ini. Ia menyinggung hubungan pribadi Presiden dengan keluarga besar Cendana dan warisan Orde Baru.
“Presiden memiliki conflict of interest yang kuat sebagai mantan menantu Soeharto serta bagian dari keluarga besar Cendana. Ia tidak seharusnya mengorbankan kepentingan bersama atas sejarah bangsa hanya demi kepentingan pribadi atau keluarganya,” katanya.
Hendardi menambahkan, generasi muda Indonesia kini cukup literat dan memiliki akses luas terhadap sejarah. Upaya manipulasi sejarah, kata dia, tidak akan menghapus catatan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi pada masa Orde Baru.
“Sejarah itu untuk dipelajari dan dimaknai agar kita lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi masa kini dan masa depan. Kekejaman Orde Baru tidak perlu dialami secara langsung. Mereka dapat membacanya dari sejarah yang ditulis oleh begitu banyak sarjana, dalam dan luar negeri,” ujar Hendardi.
Ia menutup pernyataannya dengan menilai keputusan tersebut sebagai beban moral dan politik yang akan terus melekat pada kepemimpinan Prabowo.
“Setelah Prabowo menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, semakin lengkaplah beban politik beliau. Kepemimpinannya akan terus dicatat sejarah sebagai pemerintahan yang mengabaikan HAM, memundurkan demokrasi, dan memanipulasi sejarah,” pungkas Hendardi.

