SETARA Institute Kritik TNI Bidik Ferry Irwandi: Ancam Demokrasi dan Kebebasan Sipil

Intime – Peneliti HAM dan Reformasi Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menyatakan keprihatinannya atas langkah Komandan Satuan Siber (Dansat Siber) Brigjen J.O. Sembiring bersama sejumlah perwira tinggi TNI yang mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi.

Menurut Ikhsan, tindakan tersebut menimbulkan kekhawatiran serius dari perspektif konsolidasi demokrasi dan reformasi sektor keamanan.

“Langkah patroli siber dan konsultasi yang dilakukan Satuan Siber TNI bukan hanya memperlihatkan perluasan peran militer di luar ranah pertahanan negara, tetapi juga memperlihatkan gagal paham mengenai keterlibatan TNI pada bidang siber yang seharusnya terbatas pada pertahanan,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (10/9).

Ia menilai, dinamika ini belum mencapai eskalasi krisis siber sebagaimana diatur dalam Perpres No. 47 Tahun 2023 tentang Strategi Keamanan Siber Nasional dan Manajemen Krisis Siber.

Oleh karena itu, kata dia, keterlibatan TNI di ranah tersebut dinilai bertentangan dengan mandat dan berpotensi memicu regresi demokrasi, terutama dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat serta berekspresi warga negara.

Ikhsan menegaskan, praktik patroli siber ini juga berpotensi tidak sejalan dengan dasar pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

UU No. 3 Tahun 2002 tentang TNI pada Pasal 7 ayat (4) menyebutkan bahwa OMSP harus diatur melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali dalam tugas membantu Polri menjaga keamanan dan ketertiban. Sementara, aturan rinci mengenai OMSP di bidang siber belum tersedia.

“Fenomena ini bukan hanya mencerminkan regresi reformasi TNI, tetapi juga mengakselerasi represi digital yang mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menyebut praktik patroli siber oleh TNI berisiko menciptakan “dwifungsi digital”, di mana militer bukan hanya menjaga pertahanan negara, tetapi juga menjalankan peran penegakan hukum di ruang siber.

Hal ini, kata Ikhsan, berpotensi menjadi instrumen pengendalian narasi publik sekaligus mempersempit ruang kebebasan sipil (shrinking civic space).

“Tanpa batasan jelas dan pengawasan parlemen maupun publik, operasi siber TNI berpotensi menjadi instrumen represi digital yang membungkam kritik dan mengontrol narasi publik,” ucapnya.

Ikhsan menekankan, keterlibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi, baik secara langsung maupun di ruang digital, seharusnya dihentikan apabila aparat sipil masih mampu menanganinya.

Menurutnya, demonstrasi adalah hak politik warga negara yang dijamin konstitusi, sementara dalam paradigma militer justru kerap dipandang sebagai ancaman stabilitas.

“Paradigma militer bisa menjadikan demonstrasi sebagai instabilitas sosial-politik, yang pada akhirnya memicu penggunaan daya paksa yang melanggar hak konstitusional warga negara,” pungkas Ikhsan.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini