Intime – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan produksi gula konsumsi mencapai 3 juta ton pada 2026. Target ini naik sekitar 330 ribu ton atau 12,3 persen dibandingkan proyeksi produksi 2025 sebesar 2,67 juta ton.
Jika tercapai, Indonesia berpeluang mencapai swasembada gula konsumsi lebih cepat dua tahun dari target Perpres Nomor 40 Tahun 2023. Namun, Pakar Pertanian Khudori menilai target tersebut ambisius dan menyimpan sejumlah risiko yang perlu diantisipasi secara serius.
Menurut dia, keberhasilan swasembada gula sangat bergantung pada Jawa Timur yang menjadi sentra utama tebu nasional. Pada 2024, hampir 46 persen lahan tebu nasional dan lebih dari 50 persen produksi gula konsumsi berasal dari provinsi tersebut.
“Menumpukan pencapaian swasembada gula konsumsi pada Jawa Timur tidak keliru, tetapi risikonya besar karena berpotensi menggerus produksi komoditas pangan lain,” kata Khudori.
Ia menjelaskan, Jawa Timur juga merupakan produsen utama beras, jagung, cabai, bawang, hingga protein hewani. Kompetisi pemanfaatan lahan sawah tak terhindarkan. Peningkatan luas tanam tebu berpotensi menekan luas panen komoditas pangan lain, kecuali perluasan dilakukan di lahan baru yang belum diusahakan.
Selain itu, Khudori menyoroti faktor insentif ekonomi petani tebu. Dominasi lahan tebu milik petani membuat keberhasilan swasembada sangat ditentukan oleh harga dan kepastian serapan.
Ia mengingatkan pengalaman 2025, ketika gula petani menumpuk berbulan-bulan tanpa pembeli akibat lambatnya intervensi pemerintah.
Persoalan lain adalah target bongkar raton seluas 100 ribu hektare pada 2026. Hingga akhir Desember 2025, realisasinya di Jawa Timur masih jauh dari target. Ketersediaan bibit dan kesiapan teknis dinilai menjadi tantangan utama.
Khudori juga menyoroti perbedaan data konsumsi gula antara pemerintah dan Jurnal GULA. Perbedaan ini berdampak pada keputusan tidak melakukan impor gula konsumsi pada 2026.
Menurutnya, kebijakan tersebut berisiko memicu gejolak harga pada pertengahan tahun ketika stok menipis dan produksi domestik belum sepenuhnya masuk pasar.
“Jangan sampai terlalu bersemangat mengejar swasembada, lalu keputusan tidak impor justru membawa petaka,” ujarnya.

