Intime – Aktivis 98 Ubedilah Badrun menyatakan, kedepannya pemerintah tak perlu lagi memberikan gelar pahlawan pada mantan presiden. Ia menyebut, sudah cukup gelar itu disematkan pada Presiden ke-1 RI, Soekarno.
“Nah, karena itu menurut saya tidak perlu lagi, pemberian gelar pahlawan itu untuk mantan-mantan presiden. Sudah cukup Soekarno saja,” ujarnya di Jakarta, Senin (27/10).
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menjelaskan, penyematan gelar pahlawan pada mantan presiden justru berpotensi menutup ruang penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan selama masa kekuasaan mereka.
“Bayangkan kalau seluruh presiden harus disematkan sebagai pahlawan nasional karena posisinya sebagai presiden, sepanjang sejarah kita enggak akan maju-maju,” kata Ubed – panggilan akrabnya.
Ubed mencontohkan sejumlah negara lain yang tidak memberikan gelar kehormatan semacam itu kepada para mantan pemimpinnya. Ia menilai Indonesia bisa belajar dari negara seperti Prancis dan Korea Selatan yang berani menegakkan hukum terhadap mantan presiden mereka.
“Kita perlu belajar jadi Prancis. Misalnya mantan presiden dia masuk penjara, diadili perkaranya. Korsel dalam 30 tahun terakhir mantan presidennya ada kurang lebih 5-6 masuk penjara karena melanggar hukum jadi tegak itu hukum,” ujarnya lagi.
Menurut Ubed, penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih menjadi kunci untuk membangun kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia.
“Saat penegakan hukum itu tidak tebang pilih, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, itu lah yang akan menimbulkan citra positif,” kata Ubed lebih lanjut.
Lebih lanjut, Ubed menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tidak membutuhkan simbol atau gelar kehormatan, melainkan kesejahteraan yang nyata.
“Indonesia saat ini membutuhkan sosok-sosok yang menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan dirinya dan keluarganya, yang memahami dan melaksanakan etik moral. Jadi gak usah lah gelar-gelar begitu, masyarakat tidak butuh,” pungkasnya.

