Intime – Aktivis 98, Ubedilah Badrun, menilai proses pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, sarat muatan politik. Ia menilai langkah tersebut lebih didorong oleh kepentingan elit ketimbang aspirasi publik.
“Proses pemberian gelar pahlawan pada Soeharto terlihat sangat politis karena prosesnya elitis. Maknanya tidak mendengarkan partisipasi publik, tetapi lebih terlihat sebagai inisiatif elit politik,” kata Ubedilah dalam diskusi publik di Jakarta, Minggu (26/10).
Menurut Ubedilah, indikasi kuat bahwa langkah tersebut bernuansa politik sudah terlihat sejak penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Keterlihatan politis itu makin terbaca sejak era akhir kekuasaan Jokowi ketika nama Soeharto dihapus dari Tap MPR No.XI tahun 1998. Setelah pencabutan itu, citra Soeharto sebagai presiden yang menjalankan kekuasaan secara KKN semacam diputihkan. Dengan pemutihan itu, muncul kesan bahwa Soeharto tidak pernah terkena perkara hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ubed menyoroti peran Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang memimpin proses pemberian gelar tersebut. Ia menyebut latar belakang Fadli sebagai politisi Partai Gerindra yang dikenal dekat dengan Presiden Prabowo Subianto memperkuat kesan politisasi.
“Fadli Zon adalah orang yang sangat dekat dengan Prabowo sejak masa Soeharto berkuasa. Ia menjadi anggota MPR lewat pengangkatan pada 1997, bukan dipilih rakyat. Jadi, ini bukan hal netral,” katanya.
Ubed juga menilai waktu pengajuan gelar tersebut semakin menunjukkan motif politik, sebab usulan serupa telah muncul lebih dari 15 tahun lalu namun selalu ditolak publik. Kini, menurutnya, momentum itu dimunculkan kembali di era Presiden Prabowo Subianto yang juga merupakan menantu Soeharto.
“Pada masa-masa sebelumnya, usulan ini ditolak karena kontroversial dan ditolak publik. Sekarang pun demikian, tapi karena presidennya Prabowo (menantu Soeharto) dan menterinya Fadli Zon (orang dekat Prabowo dan pro-Soeharto), maka penolakan publik diabaikan. Jadi terlihat elitis dan politis,” tegas Ubed.
Ia menambahkan, upaya tersebut bisa dibaca sebagai strategi untuk memulihkan citra rezim Orde Baru. Menurutnya, langkah itu juga dapat dilihat sebagai cara mencari pengakuan dari keluarga Soeharto.
“Ini bisa ditafsirkan sebagai usaha Fadli Zon di hadapan Prabowo dan keluarga Soeharto untuk mendapat pengakuan bahwa ia telah bekerja memulihkan nama Soeharto — semacam ‘mencari muka’,” katanya.
Ubed menilai, jika Soeharto benar-benar ditetapkan sebagai pahlawan nasional, hal itu akan menjadi kemunduran moral bagi bangsa.
“Semua upaya itu untuk menghapus Soeharto sebagai mantan presiden yang kekuasaannya penuh KKN dan pelanggaran HAM. Jika Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, bangsa ini telah kehilangan ukuran moral dan etik kenegaraan. Generasi muda akan kehilangan arah moral dan etik karena pelaku KKN dan pelanggar HAM dijadikan pahlawan,” pungkasnya.

