WALHI Duga Tujuh Perusahaan Picu Banjir dan Longsor di Batang Toru

Intime – Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada 25–27 November lalu meninggalkan dampak kemanusiaan dan kerusakan lingkungan yang sangat berat. Lebih dari 600 jiwa dilaporkan meninggal dunia akibat bencana tersebut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara mengungkapkan adanya dugaan kuat bahwa tujuh perusahaan berkontribusi terhadap terjadinya banjir bandang dan longsor tersebut. Ketujuh perusahaan itu beroperasi di kawasan ekosistem Batang Toru, wilayah yang dikenal sebagai habitat penting bagi orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan berbagai satwa dilindungi lainnya.

Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, menyebut nama-nama perusahaan yang diduga menjadi pemicu kerusakan lingkungan tersebut. Mereka adalah PT Agincourt Resources (Tambang Emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) selaku pengelola PLTA Batang Toru, serta PT Pahae Julu Micro-Hydro Power (PLTMH Pahae Julu).

Selain itu, WALHI juga menyoroti aktivitas PT SOL Geothermal Indonesia (Geothermal Taput), PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) unit PKR di Tapanuli Selatan, PT Sago Nauli Plantation (perkebunan sawit di Tapanuli Tengah), dan PTPN III Batang Toru Estate (perkebunan sawit di Tapanuli Selatan).

“Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” ujar Rianda dalam keterangannya.

Menurut WALHI, industri berskala besar yang beroperasi di kawasan Batang Toru telah menyebabkan deforestasi signifikan serta perubahan tutupan lahan yang mengganggu fungsi ekologis kawasan tersebut sebagai daerah tangkapan air. Kondisi ini memperbesar risiko bencana hidrometeorologi, terutama saat intensitas hujan meningkat.

Rianda menjelaskan bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut—mulai dari tambang, energi, hingga perkebunan—mengganggu keseimbangan lingkungan yang selama ini menjadi penyangga kehidupan masyarakat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru.

“Ekosistem Batang Toru bukan hanya penting bagi keanekaragaman hayati, tetapi juga bagi keselamatan warga yang tinggal di DAS Batang Toru dan wilayah sekitarnya,” kata Rianda.

WALHI menegaskan bahwa kerusakan hutan di kawasan tersebut memiliki korelasi kuat dengan meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap banjir dan longsor. Ketika hujan lebat turun, daerah yang sebelumnya mampu menyerap air kini lebih mudah mengalami erosi. Aliran air permukaan pun meningkat dan mengalir deras ke permukiman warga sehingga menimbulkan banjir bandang.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini