Kepala Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Usni Hasanudin, mempersoalkan adanya klausul kawasan aglomerasi dalam Pasal 51 Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Apalagi, langkah pemusatan itu hanya berfokus pada aspek ekonomi.
“Ini akan menjadi salah satu persoalan krusial ke depannya jika kawasan aglomerasi dalam konteks perencanaan wilayah yang menyatukan satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global tidak mengaitkan pada konteks budaya. Ini akan terjadi pergeseran nilai yang sangat merugikan Indonesia sebagai negara dengan suku bangsa yang beragam,” tuturnya dalam keterangannya, Kamis (21/12).
“Berbeda kalau seandainya hanya fungsi ekonomi nasional yang dicabut atau dipindahkan, Jakarta tidak akan serumit ini dalam perubahan RUU Jakarta,” sambungnya.
Usni mengingatkan, sejak pra-kemerdekaan, Jakarta menjadi episentrum Indonesia. Ia setidaknya memiliki 5 fungsi yang saling bertalian, yakni ekonomi, sejarah, sosial budaya, politik, hingga pemerintahan dan administratif.
Ia melanjutkan, dari aspek demograsi, populasi suku Betawi yang menduduki wilayah Jakarta mencapai 6.807.968 juta jiwa atau setara 2,88% penduduk Indonesia. Sebanyak 2.301.587 jiwa (27,56%) di antaranya tinggal di Jakarta, sedangkan sisanya bermukim di daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang Raya, Bekasi, dan Cianjur (Bodetabekjur).
“Oleh karena itu, perlu dimasukkan kepentingan budaya Betawi sebagi supporting dari aglomerasi ekonomi. Sehingga, menciptakan integrasi aglomerasi ekonomi dan budaya,” jelas pengurus Kaukus Muda Betawi ini.
Usni menambahkan, adanya klausul aglomerasi kebudayaan Betawi dalam RUU DKJ juga dapat mempertahankan nilai, adat, dan budaya ketika ekonomi global terwujud. Sebab, indeks pembangunan kebudayaan di Jakarta dalam dimensi ekspresi budaya hingga kini masih rendah (15%) lantaran minimnya ruang terbuka untuk memajukan kebudayaan Betawi dan lainnya.
“Aglomerasi budaya menjadi penting. Bukan saja di kawasan, sebagaimana dalam RUU DKJ, melainkan di setiap kecamatan yang ada di Jakarta memerlukan aglomerasi budaya untuk mengangkat indeks pembangunan budaya,” katanya.
“Aglomerasi budaya juga dapat dimaksimalkan untuk menjaga pertumbuhan populasi masyarakat Betawi yang pada akhirnya akan menjadi satu kesatuan budaya ekonomi untuk menopang aglomerasi ekonomi,” sambung Direktur Demos Institute ini.
Manfaat berikutnya, ungkap Usni, mendorong pelaku seni dan budaya mengembangkan pemajuan kebudayaan Betawi. “Karena aglomerasi budaya nantinya menciptakan daya tarik wisatawan ketika pelaku budaya diberikan ruang ekspresi, seperti halnya di Bali,” tandasnya.