APBN 2025 Melebar Jadi Rp 662 Triliun, Benarkah Solusi atau Bom Waktu Fiskal?

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

APBN 2025 dipaksa bekerja sangat keras. Selain harus mendukung penuh agenda prioritas pembangunan Presiden Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis, Revitalisasi Sekolah, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih, APBN juga dituntut menjadi peredam guncangan (shock absorber) di tengah ketidakpastian global.

Pemerintah pun mengusulkan pelebaran defisit menjadi Rp 662 triliun atau 2,78% PDB, naik dari 2,53% PDB sebelumnya, demi memastikan stabilitas ekonomi terjaga, pertumbuhan tetap tumbuh, dan daya beli rakyat tidak jatuh.

Namun, benarkah pelebaran defisit ini menjadi solusi tepat di tengah kondisi fiskal yang mulai menipis?

Inilah pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum APBN 2025 benar-benar menjadi bom waktu fiskal di masa depan.

Pelebaran Defisit: Solusi Jangka Pendek, Masalah Jangka Panjang

Mengapa defisit APBN 2025 melebar menjadi 2,78% PDB setelah pemerintah melakukan efisiensi?

Jawabannya sederhana karena belanja pemerintah lebih cepat tumbuh daripada penerimaan negara.

Ini menandakan adanya kelemahan struktural fiskal kita yang tak kunjung dibenahi.

Ibarat orang yang sudah diet ketat tapi tetap naik berat badan karena pola makannya masih buruk, APBN kita berhemat di belanja operasional kecil tapi menambah pengeluaran masif di program-program baru yang belum terbukti efektif.

Pelebaran defisit ini dipicu oleh prioritas politik, bukan rasionalitas fiskal.

Program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis, yang membutuhkan Rp 71 triliun, menguras fiskal di tengah penerimaan pajak yang justru melambat akibat penurunan harga komoditas global.

Risiko defisit melebar sangat nyata yaitu utang makin besar, beban bunga makin berat, ruang fiskal makin sempit.

Jika diteruskan, APBN bukan lagi shock absorber, melainkan bom waktu fiskal yang menunggu meledak.

Stabilitas APBN di Tengah Serapan Anggaran Lambat

Apakah kodisi APBN 2025 masih aman mengingat realisasi pembiayaan anggaran yang sudah mencapai 46%, sementara program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) baru terealisasi Rp 5,0 T (7,1% dari pagu APBN Rp 71 triliun)?

Apakah kondisi APBN 2025 masih aman?

Di atas kertas, iya, karena defisit di bawah 3% PDB.

Namun, realisasinya jauh dari ideal. Pembiayaan anggaran sudah 46% sementara program seperti Makan Bergizi Gratis baru terealisasi Rp5 triliun atau hanya 7,1% dari pagu.

Ini mengindikasikan pemerintah jago menambah utang, tapi gagal mengeksekusi belanja prioritas secara cepat dan tepat.

Analogi mudahnya seperti ini: kita sudah mencicil DP motor baru, tapi belum sempat dipakai untuk bekerja mencari uang.

Utang berjalan, manfaat ekonomi belum muncul.

Efek ganda fiskal terhambat, sementara bunga utang terus menumpuk.

Jika serapan MBG tetap lamban, rakyat hanya menerima janji makan bergizi tanpa realisasi nyata, sementara beban fiskal sudah telanjur menumpuk di depan mata.

Utang Baru dan Pemanfaatan SAL: Strategi Cerdas atau Kebiasaan Buruk?

Apakah penambahan utang dan pemanfaatan SAL untuk menutup pelebaran defisit APBN 2025 adalah langkah yang tepat, aman, dan kredibel? Apa langkah ini bisa memicu peningkatan imbal hasil (yield) SBN yang harus dibayar pemerintah?

Pemerintah memilih menambah utang dan memakai SAL untuk menutup defisit.

Strategi ini terlihat cerdas di permukaan: memakai tabungan sambil berutang agar tidak kekurangan likuiditas.

Namun jika kita telaah lebih dalam, ini bukan kebijakan berani, melainkan jalan pintas.

SAL adalah sisa anggaran yang tidak terserap pada tahun sebelumnya, alias tabungan akibat ketidakmampuan eksekusi belanja.

Jika kini digunakan untuk menutup defisit, artinya kita menambal kebocoran fiskal dengan dana yang seharusnya dipakai untuk pembangunan tahun lalu.

Lebih jauh, menambah utang di saat yield SBN sedang tinggi berpotensi menjadi bumerang.

Pasar bisa menafsirkan pemerintah tidak mampu mengelola fiskal secara prudent, lalu menaikkan yield lebih tinggi.

Jika itu terjadi, pemerintah akan membayar bunga lebih mahal, menggerus ruang fiskal untuk belanja produktif di masa depan.

Kebijakan utang dan SAL ini ibarat menambal lubang di jalan dengan aspal tipis dimana cepat rusak saat dilindas beban berat.

Ruang Penghematan dan Optimalisasi Pendapatan yang Terabaikan

Apakah masih ada ruang penghematan agar defisit tidak melebar?

Sangat banyak. Namun pemerintah hanya berfokus pada penghematan kosmetik seperti penghapusan tunjangan pulsa ASN.

Menghemat Rp150 ribu per bulan untuk 500 ribu ASN memang menambah Rp900 miliar, tapi skala penghematan ini tidak sebanding dengan kebocoran dan inefisiensi belanja modal dan bansos yang tak tepat sasaran.

Ironis, pemerintah menargetkan pajak digital dan pungutan ekspor sawit, tetapi potensi pajak korporasi besar, cukai rokok, dan pembenahan tax expenditure masih belum disentuh optimal.

TUNDA PROGRAM YANG TIDAK TERUJI EFEKTIVITASNYA

Jika ingin defisit tidak melebar, pemerintah harus berani menunda program mercusuar yang belum teruji efektifitasnya, melakukan moratorium proyek infrastruktur baru yang tidak mendesak, dan melakukan audit menyeluruh atas belanja K/L yang duplikasi.

Namun kebijakan seperti ini tidak populer secara politik.

Akibatnya, defisit dibiarkan melebar dengan pembenaran sebagai shock absorber, padahal rakyat tidak pernah diminta pendapat apakah mereka bersedia menanggung utang tambahan untuk program yang eksekusinya lamban.

Kini APBN 2025 : Dari Shock Absorber Menjadi Bom Waktu?

APBN 2025 adalah contoh nyata bagaimana politik anggaran jangka pendek mendominasi rasionalitas fiskal jangka panjang.

Dengan defisit makin lebar, utang makin besar, dan serapan belanja prioritas lamban, APBN kita bagaikan suspensi mobil yang terus menahan beban berlebih.

Suatu hari, suspensi itu akan patah jika beban terus ditambah tanpa perbaikan desain struktural.

Kesehatan fiskal bukan hanya soal defisit di bawah 3% PDB, melainkan kemampuan mengeksekusi belanja untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga risiko utang agar tetap terkendali.

Jika pemerintah terus menutup lubang fiskal dengan utang dan SAL tanpa perbaikan struktural penerimaan dan belanja, maka APBN akan bertransformasi dari shock absorber menjadi bom waktu fiskal yang menunggu meledak di masa depan. Itu Bahaya!

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini