Oleh: Isac Kharist Tahta Wira
Para Gubernur di seluruh Indonesia membawa tanah dan air di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim). Dilakukan sebagai penanda titik nol pembangunan ibu kota baru.
Ada Pawang hujan yang berjalan di area sirkuit mandalika. Sosok perempuan, berjalan membawa baki dan di goyang-goyang dengan mulut Komat-Kamit. Semoga Hujan berhenti. Apa hujan berhenti? Tidak. hujan tetap deras tumpah ke bumi.
Kita sudah hidup di abad yang makin rasional. Ada ukuran-ukuran ilmu pengetahuan dan study kelayakan. Jika ingin membagun kota. maka kita perlu arsitektur, teknokrat, konsultan keuangan. Dilakukan agar feasibility study membangun kota itu sudah dimitigasi dengan baik.
Sebaliknya jika ingin melihat prakiraan cuaca hujan di satu tempat. Kita punya BMKG ilmunya jelas. Sekolahnya susah, alat pengukur cuacanya dikerjakan dengan Scientist dan mahal pula harganya.
Kita memang kerap terobsesi dengan keunggulan ilmu pengetahuan dengan semua spektrumnya. Tapi di negeri 62+ semua yang berbau kadar ilmiah menguap tak menentu.
Tidak berhenti di situ, jagad medsos kita. tik-tok, IG, Twiter dan FB. Lebih masif mendengungkan para cenayang hujan mandalika. Ketimbang mengapresiasi para pekerja sirkuit tersebut atau kehebatan punggawa MotoGP. Ini malah Di-broadcast berkali kali pengusir hujan.
Republik anomali ini seperti ada yang merancang orkestranya. Setiap ada persoalan besar. Diganti dengan isu lain. Belum masalah minyak goreng dan pemilu yang mau ditunda. Big data yang opo meneh dilontarkan elite. Sekejap hilang dengan dengan centangan hujan di mandalika . Uraa !!