Bivitri Susanti Kritik Wacana Soeharto Jadi Pahlawan: Reformasi Bisa Kehilangan Makna

Intime – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, dinilai bukan sekadar persoalan pantas atau tidak pantas.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai langkah tersebut memiliki implikasi serius terhadap sejarah reformasi, hukum tata negara, dan arah demokrasi Indonesia ke depan.

“Pemberian gelar ini bukan hanya perkara pantas atau tidak pantas. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan arah demokrasi Indonesia ke depan,” ujar Bivitri kepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/10).

Menurut pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berpotensi mengaburkan landasan historis reformasi yang melahirkan banyak perubahan institusional penting, seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penguatan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945.

“Kalau Soeharto dianggap pahlawan, seolah-olah kita kehilangan dasar sejarah atas lahirnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi itu. Reformasi bisa kehilangan maknanya,” tegasnya.

Bivitri juga menilai bahwa pengusulan nama Soeharto bersamaan dengan tokoh-tokoh lain, seperti Marsinah, dapat menjadi strategi politik untuk mengaburkan kontroversi di balik usulan tersebut.

“Seolah pemberian gelar ini prosedural biasa. Kalau Soeharto diusulkan sendirian, mungkin masyarakat lebih mudah menolak. Tapi kalau bersama tokoh lain, kita jadi ragu dan sungkan, apalagi harus berhadapan dengan keluarga para calon penerima gelar,” katanya.

Ia menduga, terdapat motif politik di balik wacana pemberian gelar tersebut. Menurut Bivitri, ada pandangan politik yang ingin mengembalikan tatanan kekuasaan seperti masa Orde Baru.

“Ini bukan sekadar relasi personal. Ada cara pandang bahwa masa Orde Baru adalah masa terbaik Indonesia, dan itu berbahaya. Sekarang saja sudah muncul narasi ‘kembali ke UUD 1945’, dan saya lihat banyak poster semacam itu di media sosial,” ucapnya.

Lebih jauh, ia menilai pemberian gelar itu berpotensi melemahkan legitimasi amandemen konstitusi pascareformasi yang lahir sebagai koreksi terhadap kekuasaan Soeharto.

“Kita bisa kehilangan dasar sejarah yang menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945 itu perlu, karena kekuasaan Soeharto dulu terlalu besar. Dulu tidak ada Pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden dua periode, tidak ada MK,” jelasnya.

Bivitri menegaskan, langkah itu bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi.

“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, nanti bisa saja muncul argumen ‘Soeharto saja dipilih tujuh kali, kenapa tidak boleh lagi?’ Itu yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita,” tutupnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini