Intime – Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menilai langkah Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi yang mulai menjauh dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan merapat ke Presiden Prabowo Subianto mencerminkan wajah ideologi relawan tersebut yang sesungguhnya.
Menurut Iwan, pergeseran sikap politik Budi Arie bukan tanpa alasan. Ia menilai hal itu menunjukkan bahwa Projo selama ini lebih berpihak pada kekuasaan dibanding prinsip ideologis.
“Makna yang pertama bahwa Budi Arie menyadari bahwa politik di Indonesia ini pengendali utamanya adalah penguasa. Untuk itu secara realistis Budi Arie memilih untuk bergeser ke tuan baru. Atau kasarnya ideologi Projo itu adalah menghamba pada siapa yang sedang berkuasa. Bergeser dari Jokowi ke Prabowo,” jelas Iwan kepada awak media di Jakarta, Rabu (5/11).
Lebih jauh, Iwan menyebut langkah Budi Arie diambil karena dua faktor utama. Pertama, adanya kepentingan politik untuk mengamankan posisi dan jaringan kekuasaan yang telah dibangun selama ini.
“Kedua terkait Budi Arie sendiri yang membutuhkan perlindungan dari kekuatan politik penguasa dari beberapa kasus yang menghantuinya yaitu kasus judi online,” beber Iwan.
Iwan juga menyoroti pilihan Budi Arie yang disebut-sebut menjadikan Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, sebagai pintu masuk menuju lingkaran Gerindra. Ia menilai kedekatan personal antara keduanya menjadi faktor penting dalam langkah politik Budi Arie tersebut.
“Nah, kenapa Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco menjadi pintu masuk Budi Arie ke Partai Gerindra, kita tahu bagaimana hubungan atau relasi kedua tokoh tersebut cukup dekat,” jelas Iwan.
Dari sudut pandang politik, lanjut Iwan, langkah Budi Arie bisa dianggap sebagai bentuk “pengkhianatan” terhadap Jokowi yang selama ini menjadi simbol utama gerakan Projo. Ia mengingatkan, sejak awal Projo dikenal sebagai singkatan dari Pro Jokowi.
“Sekarang beda lagi, pernyataan justru Projo itu bukan Pro Jokowi. Namun secara realis politik, Budi Arie sebagai Ketua Umum Projo harus mengambil langkah itu, meskipun logo wajah Jokowi sekali pun bisa dikatakan sebagai bukan Jokowi,” jelas dia.
Dengan demikian, Iwan menekankan, bahwa memang dalam politik itu tidak ada teman dan penghambaan yang abadi. Iwan menekankan, yang abadi hanyalah kepentingan semata.

