Intime – Rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi menarik dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) untuk ditempatkan di bank-bank Himbara (Mandiri, BRI, BNI, BTN) menuai kritik dari parlemen.
Anggota Komisi V DPR RI Darmadi Durianto menilai langkah tersebut berpotensi menimbulkan risiko serius bagi perekonomian.
“Tujuan memang untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Namun, langkah ini punya sejumlah efek negatif atau risiko yang perlu dicermati,” ujar Darmadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (12/9).
Menurutnya, dana jumbo itu bisa mengganggu stabilitas moneter bila tidak segera terserap untuk kredit produktif.
“Jika likuiditas besar tidak diserap dengan cepat, efeknya bisa menekan nilai rupiah dan memicu inflasi,” jelasnya.
Darmadi juga mengingatkan bahwa penarikan dana tersebut berpotensi mengurangi ruang gerak BI dalam mengendalikan jumlah uang beredar. Selama ini, saldo pemerintah di BI membantu menjaga stabilitas rupiah di pasar.
Lebih jauh, ia menyoroti potensi risiko di sektor perbankan. Menurutnya, ada kekhawatiran bank Himbara akan menyalurkan kredit dengan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas.
“Ibaratnya kredit asal tersalur. Ini bisa menurunkan kualitas kredit dan meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL),” ujarnya.
Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan kesenjangan antara bank Himbara dan bank non-Himbara. “Bank swasta dan daerah bisa kalah saing karena Himbara mendapat dana murah tambahan. Ini menciptakan distorsi kompetisi,” tegasnya.
Risiko lainnya, kata Darmadi, adalah terhadap disiplin fiskal dan tata kelola keuangan negara. Menurutnya, dana pemerintah seharusnya dipakai untuk belanja infrastruktur atau subsidi, bukan sekadar “diparkir” di bank.
Ia juga menyinggung persoalan undisbursed loan yang masih tinggi di Himbara. Data OJK per Agustus 2025 mencatat sekitar Rp470,39 triliun kredit Himbara belum tersalurkan, naik 15,64 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Undisbursed loan tinggi sekali dan tidak efektif. Dengan kondisi ini, sulit berharap penempatan Rp 200 triliun bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Darmadi menambahkan, tingginya undisbursed loan dipengaruhi banyak faktor, mulai dari debitur yang menunda realisasi proyek, ketidakpastian ekonomi global, suku bunga tinggi, hingga lambatnya belanja pemerintah.
Karena itu, ia meminta pemerintah melakukan kajian lebih komprehensif sebelum mengeksekusi kebijakan ini.
“Semangat boleh, tapi indikator harus jelas dan dampaknya dihitung secara holistik. Jangan sampai semangat itu justru berujung bencana krisis moneter,” pungkasnya.