Dianggap Tertutup, Prof Djohermansyah Minta Tito Ubah cara Penunjukan Pj Kepala Daerah

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian diminta memperbaiki mekanisme penunjukan pejabat (Pj) kepala daerah. Demikian ditegaskan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Djohermansyah Djohan.

Dia meminta, agar proses penunjukan Pj kepala daerah dilakukan secara terbuka. Sehingga, masyarakat dapat memantau proses demokratisasi dalam birokrasi.

“Mendagri sebaiknya memperbaiki mekanisme sistem perekrutan Pj dengan cara yang lebih demokratis, memenuhi prinsip-prinsip demokratis dalam konteks birokrasi bukan dalam konteks politik, diadakan seleksi siapa yang bagus itu yang dipilih terbuka,” kata dia di Jakarta, Jumat (27/5).

Prof Djo sapaan akrabnya menjelaskan, penunjukan Pj yang dilakukan tanpa transparansi bakal menimbulkan kekhawatiran soal independensi mereka.

Sebab, berdasarkan laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pengalaman pada penunjukan Pj kepala daerah pada tahun 2020 di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak, para Pj yang ditunjuk Kemendagri terbukti tidak netral saat pemilihan kepala daerah (pilkada).

“Saya dapat informasi dari KASN contohnya dalam penetapan Pjs kepala daerah dari pegawai negeri tahun 2020 karena kepala daerahnya maju jadi calon nah, menurut catatan KASN dan laporan-laporan masuk itu Pj kepala daerah itu memihak, mereka tidak netral,” katanya.

Dia menjelaskan, penunjukan Pj kepala daerah yang tidak transparan saat ini, kata dia, juga potensial merusak Otonomi daerah. Sebab, Pj kepala daerah yang ditunjuk tidak dilakukan dengan cara yang transparan dan melibatkan masyarakat setempat.

“Nah itu kalau orang-orang itu lagi yang nanti memilihnya dalam kotak hitam Harusnya kan caranya memilihnya di dalam akuarium transparan ini. Ini zaman demokrasi, itu (penunjukan Pj) merusak otonomi daerah,” katanya.

Dia menegaskan bahwa mekanisme penunjukan Pj kepala daerah yang tidak melibatkan aspirasi masyarakat lokal akan sangat mencederai semangat otonomi daerah yang memberi ruang lebih kepada masyarakat di daerah. Termasuk dalam penentuan Pj kepala daerah.

“Jadi cara sentralisasi ini dalam mengangkat Pj yang tertutup merusak otonomi daerah yang sudah kita bangun sejak reformasi tahun 1998. Kalau rusak otonomi daerah ini rezim ini harus tanggung jawab, cara tertutup ini sebabkan otonomi daerah alami kemunduran, begitu juga demokrasi lokal,” katanya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini