Intime – Komisi III DPR RI dan pemerintah menyepakati pasal yang mengatur tentang penghinaan presiden dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa diselesaikan dengan metode restorative justice (RJ).
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat pembahasan RUU KUHAP bersama pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (9/7).
“Harus ada mekanisme penyelesaian di luar pengadilan RJ terhadap perkara yang disebut ini,” kata Habiburokhman.
Ia menuturkan, aturan tersebut sudah dibahas saat RDPU dengan masyarakat sipil terkait Pasal 77 yang mengecualikan sejumlah kasus untuk diselesaikan di luar pengadilan dengan mekanisme RJ.
Tetapi, poin pengecualian mengenai penghinaan martabat Presiden atau Wakil Presiden, kepala negara sahabat, diatur pada Pasal 77 huruf a.
Politisi Partai Gerindra itu mengusulkan agar ketentuan itu dihapus, sehingga kasus-kasus penghinaan tersebut tak dikecualikan untuk bisa menempuh mekanisme RJ.
Dengan begitu, menurut dia, jika ada seseorang yang melakukan penghinaan kepada kepala negara, maka dialog harus dikedepankan. Karena, kata dia, sebelumnya tak sedikit orang-orang yang harus dipenjara, hanya karena menyampaikan kritik kepada pemerintah yang kemudian dianggap sebuah penghinaan.
“Kadang-kadang orang bermaksud mengkritik, menyampaikan kritikan, tetapi dianggap menghina, di situ letak pentingnya restorative justice,” katanya.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Eddy Hilariej menyampaikan bahwa pemerintah pun setuju agar jenis kasus tersebut tak dikecualikan untuk menempuh RJ dalam RUU KUHAP. Pasalnya, dia menilai bahwa kasus defamation law (penghinaan) memiliki sifat berdasarkan klacht delict atau delik aduan.
“Karena dia delik aduan absolut, kalau memang mau dilakukan restorative ya nggak apa-apa,” kata Eddy.