Oleh Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Muncul pernyataan dari Mars Ega Legowo Direktur Pemasaran Regional PT. PERTAMINA PATRA NIAGA anak perusahaan dari PT. PERTAMINA (Persero) bahwa penerapan penjualan LPG subsidi akan serupa dengan penyaluran BBM yang akan dimulai pada 1 Juli 2022.
Dia juga mengatakan, pembelian LPG dengan menggunakan metode lain sudah pernah dilakukan sebelumnya dengan pengujian ke sebanyak 144 penduduk.
Penerapan MyPertamina melalui aplikasi di smartphone, melalui web ataupun melalui pelayanan di SPBU ataukah pos lainnya seperti untuk pembelian LPG tentunya akan membuat pembelian bahan bakar tersebut menjadi ribet bagi masyarakat.
Walaupun tujuan dari penggunaan mypertamina ini adalah untuk penyaluran subsidi BBM dan LPG agar tepat sasaran namun secara dasar hukum Pertamina sebagai entitas bisnis tidak mempunyai hak untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan subsidi karena hal tersebut adalah domainnya dari Kementrian ESDM.
Jadi apabila pendataan melalui MyPertamina ini dilakukan oleh Pertamina yang bukan lembaga penyelenggara regulasi maka Masyarakat boleh tidak menggunakannya. Karena tidak ada dasar hukumnya.
Sementara transaksi yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal pembelian BBM ataupun LPG bukan menjadi ranah ESDM karena pemerintah tidak boleh bertransaksi bisnis.
Dalam hal ini pemerintah terutama Pertamina tampak tergesa-gesa menerapkan MyPertamina sementara regulasinya belum jelas. Dan kriteria yang berhak atau tidaknya subsidi BBM tidak dirinci. Dan masyarakat yang merasa tidak mendapat subsidi tapi merasa berhak untuk mendapatkannya tidak jelas harus komplain kemana.
Lebih parah lagi bahwa pemerintah dalam hal ini ESDM tidak secara jelas menyampaikan kriteria Kendaraan yang boleh atau tidak boleh menerima subsidi. Sekalipun ada kriteria kendaraan yang boleh atau tidak boleh mendapatkan BBM bersubsidi tentunya subsidi tersebut harus terkait dengan orangnya, bukan kepada barangnya.
Hal lain yang dikhawatirkan jika ada proses bisnis yang harus dilakukan oleh SPBU maka akan terjadi beberapa dampak buruk. Yaitu, bisnis proses pendataan jika dilakukan di SPBU maka akan memungkinkan terjadinya kerumunan.
Penggunaan Smartphone diwilayah SPBU juga akan beresiko menimbulkan kebakaran apalagi jika hal tersebut terjadi saat orang-orang berkerumun maka akan beresiko menimbulkan banyak korban.
Dampak buruk lainnya tentunya akan menimpa SPBU sendiri, sebab dengan berkumpulnya orang dalam hal ini saat terjadi antrian baik itu untuk verifikasi pembeli BBM bersubsidi ataupun penanganan registrasi oleh pihak SPBU atau depot LPG untuk mendapatkan Q&R code maka akan memperlambat pelayanan SPBU atau depot LPG itu sendiri yang berujung kepada kelambatan dalam pencapaian pendapatan. Dengan kata lain akan mengganggu pencapaian pendapatan yang ditargetkan oleh SPBU atau depot LPG.
Dari hal-hal tersebut di atas maka dapat diprediksi bahwa implementasi MyPertamina ini akan menemui kegagalan karena tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan SPBU/Depot LPG sebagai distributor bahan bakar ke masyarakat.