Industri Tekstil Kritis, Ujian Berat bagi Prabowo

Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk ( Sritex ), baru-baru ini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Semarang, dengan utang mencapai Rp24 triliun.

Ekonom Achmad Nur Hidayat menilai, dalam beberapa tahun terakhir, industri garmen Indonesia berada di bawah tekanan.

Dia menuturkan, globalisasi, perubahan pola konsumsi, ketatnya persaingan internasional, dan pandemi COVID-19 telah memberikan dampak signifikan pada industri ini.

Ditambah lagi dengan ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor dan rantai pasok global yang terganggu oleh berbagai faktor eksternal.

“Termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta kenaikan biaya produksi di dalam negeri,” kata Achmad dalam keteranganya di Jakarta Minggu (27/10).

Menurut Achmad, hal ini menjadi tantangan bagi Prasiden Prabowo Subianto. Sebagai presiden terpilih, Prabowo menghadapi tugas berat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, terutama dalam mengatasi dampak dari krisis di sektor garmen ini.

Menurut Achmad, langkah mendesak adalah memastikan bahwa pekerja yang terkena PHK mendapat dukungan yang memadai.

“Pemerintah harus segera mengeluarkan paket bantuan sosial khusus untuk pekerja di sektor garmen yang terdampak,” jelas Achmad.

Dia menuturkan, program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau subsidi bagi keluarga yang kehilangan penghasilan harus segera disalurkan untuk mencegah terjadinya krisis sosial yang lebih luas.

Selain itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diperluas agar para pekerja dapat mengakses peluang pekerjaan di sektor lain.

“Misalnya, pekerja garmen yang memiliki keterampilan menjahit atau produksi tekstil dapat dilatih untuk beralih ke industri lain yang sedang berkembang, seperti industri kreatif atau teknologi,” jelas Achmad.

Achmad menyebut, krisis di Sritex menunjukkan betapa rentannya industri tekstil terhadap tekanan keuangan.

Oleh karena itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan bank-bank dan lembaga keuangan untuk memberikan skema restrukturisasi utang yang lebih fleksibel bagi perusahaan tekstil yang mengalami kesulitan.

“Pendekatan ini diperlukan untuk mencegah lebih banyak perusahaan tekstil yang terjerumus dalam kebangkrutan,” jelas pengajar dari UPN Veteran Jakarta ini.

Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak dan subsidi energi bagi perusahaan tekstil untuk membantu mereka menurunkan biaya produksi.

“Industri garmen sangat padat karya, sehingga biaya produksi yang lebih rendah akan membantu perusahaan-perusahaan ini bertahan dan tetap kompetitif di pasar global,” imbuh Achmad.

Achmad juga mengingatkan, Industri tekstil Indonesia saat ini tersebar dan cenderung terfragmentasi, dengan banyaknya perusahaan kecil hingga menengah yang beroperasi secara independen.

Pemerintah harus mendorong konsolidasi di sektor ini, dengan memfasilitasi kolaborasi antara perusahaan-perusahaan besar dan kecil.

Dengan konsolidasi, industri tekstil dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan meningkatkan daya saing global.

Pemerintah juga dapat membentuk klaster industri tekstil yang terintegrasi, di mana perusahaan-perusahaan tekstil dapat beroperasi secara bersama-sama dalam satu ekosistem.

“Khususnya denga akses yang lebih mudah ke infrastruktur, bahan baku, dan teknologi produksi terbaru,” tutur Achmad.

Selama ini, industri garmen Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor.

Ketergantungan ini membuat industri rentan terhadap fluktuasi permintaan global dan ketidakpastian ekonomi internasional.

Untuk itu, Prabowo perlu mendorong penguatan pasar domestik sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas industri tekstil.

Program seperti kampanye “Bangga Buatan Indonesia” harus terus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung produk lokal.

“Selain itu, pemerintah harus mendorong sektor retail dan fashion domestik untuk lebih mengutamakan penggunaan produk tekstil dalam negeri, yang pada gilirannya akan mendukung industri tekstil nasional,” jelas dia

Achmad berharap Prabowo bosa memfasilitasi investasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, seperti penggunaan mesin otomatisasi, material ramah lingkungan, serta teknologi penghematan energi.

Pemerintah juga perlu mendukung riset dan pengembangan (R&D) di sektor tekstil, dengan menyediakan insentif bagi perusahaan yang berinovasi dalam menciptakan produk tekstil yang bernilai tambah tinggi.

“Seperti kain berbahan organik atau tekstil teknologi tinggi untuk keperluan medis dan olahraga,” tutur dia.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini