Intime – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo pada Juni lalu menimbulkan ketidakpastian terhadap pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menilai secara norma yuridis, muncul perbedaan terminologi baru yang menimbulkan pertanyaan, yakni istilah “Ibu Kota Politik” dibandingkan “Ibu Kota Negara” sebagaimana ditargetkan mulai 2028.
“Kalau kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 maupun Perpres 109 Tahun 2024, tidak pernah ada terminologi Ibu Kota Politik. Namun dalam Perpres 79 yang diluncurkan pada 30 Juni lalu, di lampiran ke-65 muncul frase itu. Ini menjadi tanda tanya besar,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/9).
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB ini menegaskan, persoalan tersebut bukan hanya soal formalitas hukum, melainkan juga memiliki implikasi besar terhadap kepastian investasi dan pembangunan ekosistem pemerintahan di IKN. Menurutnya, investor membutuhkan kejelasan arah pembangunan, baik dari sisi ekonomi maupun tata kelola pemerintahan.
“PKB sebagai bagian dari koalisi pemerintah tetap memberikan catatan kritis. Publik perlu mendapat pemahaman apa basis argumentasi yuridis dari munculnya istilah Ibu Kota Politik ini. Sebab terminologi dalam hukum itu memiliki konsekuensi panjang,” tegasnya.
Meski demikian, Khozin juga menuturkan langkah tersebut bisa dimaknai sebagai fase transisi. Ia mencontohkan pengalaman Brasil yang memindahkan pusat pemerintahan dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
“Kalau secara terminologi politik, Ibu Kota Politik dan Ibu Kota Pemerintahan itu sama. Tidak mungkin ada ekosistem politik tanpa kehadiran tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hanya saja, secara hukum, terminologi harus jelas agar tidak menimbulkan tafsir berbeda,” jelasnya.
Dengan demikian, lanjutnya, kepastian norma hukum menjadi penting agar pembangunan IKN berjalan sesuai arah yang sudah ditetapkan dan dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat maupun dunia usaha.