Intime – Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan para menteri terkait untuk melakukan perubahan regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) gar lebih realistis dan fleksibel.
Kepala Negara memberikan penekanan bahwa ketentuan TKDN saat ini cenderung dipaksakan sehingga Indonesia menjadi kalah kompetitif. Selanjutnya Presiden Prabowo menyampaikan bahwa implementasi TKDN bukan hanya regulasi semata, tapi juga menyangkut aspek yang lebih luas.
Pengamat ekonomi Erwin Suryadi, menilai instruksi yang disampaikan oleh Prabowo sesungguhnya menunjukkan bahwa Presiden sangat memahami kondisi industri yang ada di Indonesia saat ini.
“Banyak ditemukan bahwa pabrikan-pabrikan dalam negeri masih kesulitan untuk menekan harga pokok produksi karena banyak bahan baku yang belum tersedia di dalam negeri, misalnya mesin untuk kendaraan bermotor, baja dengan spesifikasi khusus, dan bahkan alumunium pun belum bisa diproduksi di dalam negeri,” ujar Erwin kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/4).
Erwin menyebut berdasarkan perbincangannya dengan beberapa pabrikan domestik, ditemukan fakta masih terbatasnya ketersediaan bahan baku. Akibatnya banyak pabrikan lokal yang labor intensive tadi kesulitan berproduksi.
Sejumlah regulasi juga dinilai telah membatasi impor bahan baku yang berujung pada keberlanjutan proses produksi, hingga komitmen mereka kepada pelanggan.
“Disinilah pembatasan kuota bahan baku ini menjadi permasalahan bagi pabrikan dalam negeri untuk bisa menjaga kinerja sekaligus harga jual. Panjangnya rantai suplai yang harus dijalankan hanya untuk memperoleh kuota, pembayaran bea masuk untuk bahan baku, dan sekaligus juga penerapan kebijakan pembebasan pajak bagi produk jadi impor menjadi fakta yang mendorong makin tidak kompetitifnya pabrikan dalam negeri dibandingkan dengan produk impor,” kata Erwin.
Fakta ini juga, lanjut Erwin, diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyampaikan bahwa penghapusan kuota impor yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto akan sangat membantu eknomi Indonesia.
Menurut Sri Mulyani, kuota impor selama ini tidak memberikan penerimaan negara, menambah beban transaksi dan menimbulkan ketidakpastian perdagangan.
Menurut Erwin, terobosan berani dari Presiden Prabowo Subianto ini nantinya akan mendorong pabrikan dalam negeri semakin berani mendapatkan pesanan dan juga melakukan terobosan-terobosan teknologi yang bisa menyerap tenaga kerja.
Pasalnya, waktu dan tenaga serta biaya dari pabrikan tidak lagi dihabiskan untuk memikirkan bagaimana memperoleh kuota bahan baku impor yang selalu dibatasi dengan alasan-alasan yang kurang transparan.
“Demikian juga dengan pengambil kebijakan di Kementerian terkait, dimana selama ini kerap kali dianggap menjadi penyebab lambatnya birokrasi padahal langkah yang dilaksanakan tersebut hanya langkah untuk memenuhi ketentuan yang sudah dikeluarkan oleh Menteri terkait. Belum lagi kalau ada Pertek-Pertek yang bertabrakan dan tidak sinkron antar Kementerian dan Lembaga terkait,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Erwin juga menyoroti penerapan TKDN melalui pembatasan-pembatasan kuota impor tersebut sejatinya bukan berarti Pemerintah ingin mematikan pabrikan dalam negeri.
Tapi justru ingin memberikan kesempatan bagi pabrikan dalam negeri untuk bisa bersaing, lebih inovatif dan bisa memenuhi komitmen penyediaan barang sesuai dengan harapan dari pelanggan.
Dalam kesempatan berbeda, pengamat ekonomi dan kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, Indonesia juga harus secara jujur mengidentifikasi dan mengatasi kelemahan struktural yang dapat menggerus daya tawarnya dalam menghadapi kebijakan tarif yang dilakukan Donald Trump.
Ketergantungan yang masih cukup tinggi pada ekspor produk manufaktur padat karya tradisional seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur ke pasar AS (sekitar 32% ekspor non-migas) menempatkan Indonesia dalam posisi rentan.
“Produk-produk ini relatif mudah digantikan oleh negara pesaing seperti Vietnam, Bangladesh, atau Meksiko, yang mungkin lebih agresif dalam menawarkan insentif atau memiliki perjanjian perdagangan yang lebih menguntungkan dengan AS,” ujar Achmad seraya menyebut sejatinya industi TPT dan Alas Kaki Indonesia sudah lama kalah bersaing karena gempuran impor dari China.
“Selain itu, tantangan regulasi domestik yang sering dikeluhkan investor asing, termasuk dari AS – seperti birokrasi yang berbelit, ketidakpastian hukum, dan isu terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dapat menjadi batu sandungan,” tuturnya.