SETARA Institute Nilai Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Langgar Amanat Reformasi

Intime – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai upaya pemerintah dan elite politik untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai langkah yang salah secara moral, hukum, dan sejarah.

Ia menilai, proses yang kini tengah berlangsung di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan adanya upaya sistematis untuk merehabilitasi nama Soeharto di ruang publik, termasuk dengan pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

“Sejak awal, pencabutan itu merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta-fakta inilah yang justru mendorong lahirnya gerakan Reformasi 1998,” ujar Hendardi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (27/10).

Menurutnya, upaya menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional mencerminkan amnesia politik dan sejarah, sekaligus pengkhianatan terhadap amanat reformasi yang bertujuan membangun pemerintahan yang demokratis dan bersih dari KKN.

“Elite politik dan penyelenggara negara yang kini berupaya menempatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional jelas melupakan pelajaran sejarah dan mengkhianati cita-cita reformasi,” tegasnya.

Hendardi menambahkan, pemberian gelar tersebut juga melanggar hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Ia mengutip Pasal 24 undang-undang tersebut yang mensyaratkan penerima gelar harus memiliki integritas moral, berkelakuan baik, tidak pernah dipidana, serta setia pada bangsa dan negara.

“Bila mengacu pada undang-undang tersebut, Soeharto jelas tidak memenuhi syarat. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan pada masa pemerintahannya tidak dapat disangkal, walau memang tidak pernah diuji di pengadilan,” ujar Hendardi.

Selain itu, Hendardi mengingatkan bahwa Soeharto pernah terbukti secara hukum bertanggung jawab dalam kasus korupsi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2005. Putusan itu menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan mengembalikan dana sekitar Rp 4,4 triliun kepada negara.

“Soeharto mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menguntungkan tujuh yayasan di bawah kendalinya, yang kemudian menyalurkan dana ke 13 perusahaan milik keluarga dan kroninya,” terang Hendardi.

Menurutnya, jika pemerintah tetap memaksakan pemberian gelar tersebut, maka tindakan itu menunjukkan kecenderungan absolutisme kekuasaan.

“Jika Presiden Prabowo tetap menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, maka sah saja publik menilai bahwa ia tengah menerapkan logika kekuasaan ala monarki absolut seperti ungkapan Raja Louis XIV: L’État, c’est moi atau Negara adalah aku,” pungkas Hendardi.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini