Intime – Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa istilah nonaktif bagi anggota DPR RI tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Menurutnya, penggunaan istilah tersebut oleh partai politik lebih bersifat internal dan tidak berdampak pada status hukum keanggotaan di DPR.
“Istilah nonaktif memang ada dalam UU MD3, tetapi konteksnya sangat spesifik. Pasal 144 hanya menyebutkan nonaktif untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan, bukan untuk anggota DPR secara umum,” kata Titi dalam keterangan tertulisnya.
Ia menjelaskan, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR juga mempertegas hal tersebut. Sementara perubahan status anggota DPR hanya bisa dilakukan melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3.
“Jadi ketika partai menyatakan menonaktifkan kadernya yang duduk di DPR, itu hanya keputusan politik internal. Secara hukum, mereka tetap anggota DPR sampai ada PAW,” ujarnya.
Menurut Titi, PAW dapat dilakukan jika anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Alasan pemberhentian meliputi melanggar sumpah/janji jabatan, dijatuhi pidana penjara minimal lima tahun dengan putusan berkekuatan hukum tetap, diusulkan partai politik, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR.
Selain itu, UU MD3 juga mengatur pemberhentian sementara bagi anggota DPR yang menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana berat. Status keanggotaan baru dicabut jika pengadilan menjatuhkan vonis bersalah dengan kekuatan hukum tetap.
Titi menilai, penggunaan istilah nonaktif terhadap anggota DPR dapat menimbulkan kerancuan di publik karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“PAW adalah satu-satunya mekanisme formal untuk mengakhiri masa jabatan anggota DPR sebelum waktunya. Partai politik sebaiknya memperjelas maksud penonaktifan kader agar masyarakat memahami konsekuensinya,” tegasnya.

