Intime – Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin mempertanyakan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai “ibu kota politik” pada 2028. Menurut Khozin, frasa tersebut tidak ditemukan dalam Undang-Undang (UU) IKN, yang hanya menyebutkan IKN sebagai pusat pemerintahan.
“Di UU IKN, spirit yang kita tangkap adalah menjalankan fungsi pusat pemerintahan sebagaimana tertuang di Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang IKN. Tidak ada sama sekali frasa ‘Ibu Kota Politik’,” ujar Khozin kepada media di Jakarta pada Senin (22/9).
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menekankan perlunya kejelasan apakah istilah “ibu kota politik” ini memiliki makna yang sama dengan “ibu kota negara”. Jika keduanya dimaknai sama, maka akan ada konsekuensi hukum dan politik yang signifikan.
“Ketika ‘Ibu Kota Politik’ dimaknai sama dengan ‘Ibu Kota Negara’, maka ada konsekuensi politik dan hukum,” jelasnya.
Khozin menjelaskan, Pasal 39 (1) UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN menyebutkan bahwa perpindahan ibu kota negara diwujudkan melalui penerbitan Keputusan Presiden.
Oleh karena itu, jika IKN secara definitif menjadi ibu kota negara, seluruh cabang kekuasaan negara serta lembaga-lembaga di luar pemerintah dan lembaga internasional di Indonesia harus bersiap.
“Ketika Ibu Kota Negara definitif berpindah ke IKN, maka ada konsekuensi yang harus disiapkan dari sekarang, tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh lembaga di luar pemerintah termasuk lembaga internasional yang berada di Indonesia,” tambahnya.
Khozin menyarankan, jika yang dimaksud dengan “ibu kota politik” hanyalah pusat pemerintahan seperti yang tertera dalam UU, sebaiknya tidak perlu membuat istilah baru yang berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat.
“Jika yang dimaksud ibu kota politik itu tak lain adalah pusat pemerintahan, sebaiknya tak perlu buat istilah baru yang menimbulkan tanya di publik,” pungkasnya.