Intime – Anggota Komisi III DPR RI Abdullah meminta kepada Polri untuk meningkatkan kapasitas kapasitas, pelatihan berperspektif gender, maupun pengawasan internal dan eksternal akan efektif apabila disertai transparansi data dari pihak kepolisian.
Hal ini disampaikan Abdullah dalam menanggapi dua kasus menonjol yakni pelecehan verbal atau cat calling oleh oknum polisi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Polda Metro Jaya saat ini masih melakukan pemeriksaan terhadap okmum polisi tersebut.
Kemudian, anggota Polri Bripda Waldi alias W (22) ditangkap setelah memerkosa dan membunuh dosen asal Kabupaten Bungo, Jambi, berinisial EY (37). Kasus ini diduga dipicu oleh persoalan asmara antara keduanya.
“Polri perlu mempublikasikan data kasus secara terbuka, berapa banyak kasusnya, apa penyebabnya, bagaimana dampaknya, dan sejauh mana penanganannya. Dari situ bisa dirumuskan strategi dan taktik yang lebih efektif untuk menekan kasus serupa ke depan,” tutur Abdullah dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/11).
Selain itu, Abdullah menilai Direktorat Ditirpid PPA-PPO Bareskrim Polri juga dapat berperan dalam pencegahan di lingkungan internal kepolisian.
Upaya tersebut, lanjut dia, dilakukan melalui pelatihan dan edukasi kepada anggota kepolisian mengenai pelayanan publik yang berperspektif gender.
Hal ini, lanjut Abdullah, sejalan dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender dan Surat Telegram Bernomor ST/2011/IX/Kep/2024 tertanggal 20 September 2024.
“Artinya peraturan ini harus dilaksanakan oleh semua anggota polisi dengan komitmen penuh dan konsisten,” ujar Abdullah.
Selain memperkuat kapasitas Direktorat PPA dan PPO, dia juga mendorong Polri menerapkan tes psikologis secara rutin, baik selama pendidikan maupun dalam masa tugas aktif.
Langkah ini, kata Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI itu, cukup penting untuk mendeteksi potensi pelanggaran dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kemudian hari.
“Tes psikologis yang terukur dan rutin ini mempunyai peran strategis untuk menekan kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dan ini merupakan bentuk reformasi kepolisian di bidang pengawasan internal,” jelas dia.
Tak hanya pengawasan internal, Abdullah juga menekankan pentingnya pengawasan eksternal yang melibatkan lembaga independen dan organisasi masyarakat sipil perlu dilakukan. Hal ini guna memperkuat sistem pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Dapat dibuat mekanisme pengawasan eksternal ini melalui kerja sama misalnya dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan dan organisasi masyarakat sipil yang fokus mengadvokasi isu kesetaraan gender dan perlindungan terhadap perempuan,” ungkap Abdullah.
Abdullah pun menyampaikan keprihatinannya terhadap kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang melibatkan oknum kepolisian yang terus berulang.
Menurutnya fenomena tersebut menunjukkan perlunya langkah strategis jangka panjang melalui peningkatan kapasitas Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (Dirtipid PPA-PPO) Bareskrim Polri.
Menurut Abdullah, peningkatan kapasitas ini dinilai penting untuk memperkuat sistem perlindungan terhadap masyarakat, terutama perempuan dan anak, dari tindak kejahatan yang bersifat seksual dan meresahkan.
“Saya meminta polisi pelaku cat calling di Jaksel dan pemerkosaan serta pembunuhan di Muaro Bungo, Jambi, diusut tuntas dan diberikan sanksi seberat-beratnya, baik etik maupun pidana. Dan terpenting tingkatkan kapasitas Ditirpid PPA-PPO Bareskrim Polri untuk internal maupun eksternal,” tandas Abdullah.

