Kedelai lokal memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan produk impor, karena ditanam dengan cara yang tradisional. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin.
Aip memaparkan terdapat kelebihan dan kekurangan dari produk kedelai impor maupun kedelai produksi dalam negeri dilihat dari segi bisnis. Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, Aip mengatakan kedelai impor memiliki kelebihan dari segi kualitas yang sudah terstandarisasi baik dari bentuk, ukuran, warna, tingkat kekeringan, protein yang semuanya seragam.
Hal itu karena produksi kedelai impor dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, ataupun Kanada sudah menggunakan teknologi dan mekanisasi dengan sistem pertanian presisi agar menghasilkan produk yang seragam.
Sedangkan petani di Indonesia masih menerapkan sistem pertanian tradisional sehingga kualitas kedelai yang dihasilkan tidak terstandar atau berbeda-beda. “Tapi kalau kedelai lokal itu pada umumnya tidak ada standarisasi. Namun karena dia alamiah, ini proteinnya, gizinya lebih tinggi, lebih bagus daripada kedelai impor,” kata Aip.
Dari segi harga, kedelai impor lebih tinggi dibandingkan kedelai lokal. Harga kedelai impor yang dibeli oleh perajin tempe dan tahu berkisar Rp10 ribu/ kg. Harga tersebut mengikuti perkembangan harga kedelai internasional secara global.
Sedangkan harga kedelai lokal berkisar di Rp6.000 hingga Rp6.500/ kg. Hal itu dikarenakan kedelai lokal yang dijual oleh petani tidak dalam bentuk kedelai utuh, melainkan juga masih terdapat daun dan batang pohon. Sehingga volume kedelai dalam satu karung bisa menyusut karena proses pembersihan terlebih dahulu yang dilakukan oleh perajin tahu dan tempe.
Meskipun kualitas kedelai lokal yang belum terstandar, produk protein nabati dalam negeri tersebut masih tetap digunakan terlebih pada perajin tahu dan tempe khusus dengan orientasi ekspor.
“Sudah ada beberapa daerah misalnya Koperasi Produsen Tahu dan Tempe di Bandung, di Jawa Tengah, di Yogyakarta, di Jawa Timur, di Malang, Surabaya, dan lain-lain, yang hanya menginginkan kedelai lokal. Karena dia membuat tempe dengan kualitas yang premium, kualitas yang bagus dan orientasinya mereka untuk membuat tempe ini menjadi tempe yang akan diekspor,” kata Aip.