Intime – Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) menilai, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak sejalan dengan semangat pemerintah memperkuat demokrasi. Pangkalnya, banyak memuat pasal-pasal bermasalah.
“Kalau dengan draft RUU [Polri dan KUHAP] yang sekarang, bisa dikatakan masih belum sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat demokrasi,” ucap peneliti ICJR, Iftitah Sari, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (3/5).
ICJR memberikan banyak catatan atas draf terakhir RUU Polri per pertengahan 2024. Salah satu kritiknya adalah naskah tak menjawab masalah terbesar kepolisian, yakni minimnya akuntabilitas dan pengawasan.
“Namun, [RUU Polri] malah banyak mengatur kewenangan upaya paksa baru, yang harusnya diatur di KUHAP,” jelasnya.
Draf terbaru RUU KUHAP per Maret 2024, sambung Tita, sapaannya, juga belum memadai untuk menjamin hak-hak warga sipil ketika berhadapan dengan peradilan pidana. Pun demikian dengan kewenangan upaya paksa oleh aparat, yang masih jauh dari standar perlindungan HAM.
“Misalnya, soal kewajiban untuk menghadapkan setiap orang yang ditangkap ke hadapan hakim untuk diperiksa proses penangkapannya apakah sesuai ketentuan, tidak ada kekerasan atau penyiksaan. Kemudian, juga untuk menentukan perlu tidaknya penahanan, masih belum diatur itu forum uji secara otomatis by system sejak awal oleh hakim,” tuturnya.
Tita mengakui KUHAP perlu direvisi karena yang berlaku saat ini sudah berusia lebih dari 40 tahun sejak disahkan pada 1981. Apalagi, sudah banyak perkembangan.
“Tapi, bukan dengan RUU KUHAP yang sekarang diajukan DPR. Itu masih jauh dari menyelesaikan problematika peradilan pidana saat ini. Makanya, yang kita dorong, ya, perlu rombak ulang draf RUU KUHAP-nya, orientasinya untuk perlindungan HAM,” katanya.
“Begitu juga kita perlu reformasi Polri, tapi arahnya untuk memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan profesionalitas polisi sebagai penegak hukum. Untuk itu, banyak yang harus diperbaiki soal sistem pengawasan internal-eksternal, sistem pendidikan, sampai mutasi kepegawaian, dan lain-lain. Orientasinya harus menyasar perbaikan aspek itu, bukan soal nambah kewenangan,” sambungnya.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, setidaknya ada sembilan masalah dalam draf RUU KUHAP. Di antaranya adalah tak menjamin peradilan pidana akan berjalan akuntabel dalam merespons laporan tindak pidana dari masyarakat, tidak mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan menyediakan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat secara memadai, belum mengatur standar pengaturan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM, dan penguatan hak-hak korban, saksi, tersangka/terdakwa, dan hak-hak kelompok rentan masih sebatas formalitas tanpa operasional yang jelas.