Jakarta Kota Global dan Berbudaya: Sebuah Renungan Masa Depan Betawi

Oleh: Lutfi Hakim (Wakil Ketua PWNU Jakarta)

Intime – Jakarta hari ini bukan lagi sekadar ibu kota. Ia telah menjelma menjadi kota global dengan peran strategis dalam perekonomian nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta (UU PDKJ).

Di tengah arus perubahan besar ini, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah masyarakat Betawi akan terus menjadi penonton di tanah sendiri, atau kini saatnya tampil sebagai pelaku utama?

Perubahan tak pernah datang tanpa perjuangan. Selama bertahun-tahun, para tokoh dan elit Betawi bekerja dalam senyap—berikhtiar agar budaya Betawi tak sekadar dikenang, tetapi juga diakui dan dilibatkan secara resmi dalam arah pembangunan kota.

Hasil dari kerja panjang tersebut kini mulai tampak. UU PDKJ secara tegas menyebut pentingnya pemajuan budaya Betawi, pelibatan lembaga adat, serta penyediaan dana abadi kebudayaan. Ini adalah capaian strategis yang membuka ruang seluas-luasnya bagi eksistensi Betawi di masa depan.

Jakarta bukan hanya pusat bisnis, jasa dan pemerintahan. Kota ini sedang menata dirinya menjadi kota global yang tetap berpijak pada akar budayanya—yang tercipta dari perjalanan sejarah yang panjang. Dalam menyongsong usia lima abad Jakarta, inilah saat yang tepat bagi masyarakat Betawi untuk menyelaraskan langkah, menyatukan pikiran, membuang ego pribadi dan kelompoknya untuk menjemput takdir baru kaumnya.

Namun jalan ke sana bukan tanpa tantangan. Kita tidak ingin budaya Betawi hanya hadir dalam seremoni untuk melengkapi panggung kosmetik kekuasaan atau dikenal sekadar lewat pantun sindiran seperti ini:

Dari Cibubur ke Gandaria
Nengok ngulon kali mati
Bangun tidur di rumah mertua
Ngucek mata nyendok nasi.

Saatnya kita ubah narasi ini. Kita ingin generasi baru Betawi yang bangun tidur di rumah sendiri. Generasi mengucek mata dengan penuh syukur atas rezeki hasil jerih payahnya sendiri, yang menyendok nasi dan menyingkap tutup saji di meja makan dari dapur usaha sendiri—bukan dapur mertua, apalagi dapur orang lain.

Betawi harus hadir bukan hanya sebagai simbol budaya, melainkan sebagai subjek pembangunan. Cukup sudah kita berada di pinggiran. Kini waktunya kita masuk ke tengah gelanggang. Menjadi jawara dan juragan di kampung sendiri. Turut ambil bagian dalam pembangunan sosial, ekonomi, kebijakan, dan kebudayaan kota.

Tapi untuk itu semua, kita butuh lebih dari sekadar program. Kita butuh revolusi kultural. Sudah terlalu lama kita hidup berdampingan tapi tidak saling kenal bagai sebuah kerumunan. Terlalu sering kita mati obor—tak tahu akar, tak tahu asal.

Padahal Betawi meski terbilang “Entis” termuda, tak punya marga, dan terbuka bagi siapa saja, justru punya satu kekuatan utama: rasa. Rasa sebagai saudara, sebagai keluarga yang nenek moyangnya bersentuhan langsung dengan penjajah dan rasa ketertindasan yang sama.

Kita punya budaya yang hidup. Kita punya identitas yang harus dicintai dan dibanggakan. Maka jangan ragu, jangan malu. Sudah waktunya kita memproklamirkan diri dengan lantang: “Gue Bangga Jadi Anak Betawi.”

Kebangkitan Betawi tidak bisa hanya dibebankan kepada tokoh-tokoh semata.

Ia harus menjadi gerakan kolektif bernapas kerempugan—digerakkan oleh para pemuda, diperkuat oleh perempuan, didorong oleh komunitas, dan dijaga oleh para sesepuh. Identitas budaya bukan hanya warisan, tapi juga perjuangan.

Jakarta hari ini telah ditetapkan sebagai kota global dan berbudaya. Tapi sebuah kota tanpa akar kearifab lokal yang kuat adalah kota yang kehilangan jiwanya. Maka, keberadaan masyarakat Betawi yang tangguh, mandiri, dan bersatu adalah kunci agar kota ini tetap hidup dan bermakna.

Kini kita punya peluang. Kita punya dasar hukum. Kita punya ruang. Yang perlu kita lakukan adalah bergerak bersama dalam barisan kerempugan—mengorganisir kekuatan, memperkuat kelembagaan, memperjuangkan revisi Perda Budaya, dan memastikan lembaga adat Betawi berdiri dengan legalitas dan integritas.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan di kampung sendiri, mau bangkit di mana lagi? Saatnya kita bersinergi, bekerja sama dan bahu membahu dalam satu barusan guna “Menjemput Takdir Baru Kaum Betawi”. Tabik

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini