Negara yang semula luar biasa tapi dijalankan dengan pengabaian terhadap fungsi-fungsinya dalam mensejahterakan dan melindungi rakyatnya, bisa jadi tiba-tiba menjadi “bekas negara”.
Saat ini situasi Indonesia mirip seperti sebuah mobil rongsok yang tidak pernah dirawat, abai terhadap kondisi, tiba-tiba bisa menjadi mobil macet dan akhirnya jadi rongsokan.
“Anak kandung reformasi antara lain KPK, MK, Desentralisasi Daerah, semuanya tidak menghasilkan kebaikan tapi akhir-akhir ini justru memunculkan permasalahan. Para kepala daerah banyak tersangkut masalah di mana Ketua KPK ternyata tersangka Korupsi, begitu juga MK dan MA,” ucap Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Wijayanto melihat bahwa berbagai indikator tersebut menjadi sinyal bahwa negara semakin dekat pada titik di mana negara tidak bisa lagi menjalankan fungsinya, dimana kejadian tersebut pernah terjadi pada 1998.
“Sejak 2018, indeks persepsi korupsi Indonesia terus melejit dari 17 ke 40. Itu titik puncak prestasi kita dalam pemberantasan korupsi. Setelah 2018 melorot drastis dari 17 ke 34 dalam waktu kurang dari 4 tahun, ini menandakan indikasi bahwa negara sedang punya masalah besar,” katanya.
Ia menganalisa presiden per presiden, ternyata Megawati dan Gus Dur berkontribusi dalam perang melawan korupsi. SBY jilid 1 dan 2 juga berperang dan indeks melejit 14 point. Namun, selama 9 tahun Jokowi indeks tersebut stagnan, memperoleh skor dari 34 ke 34.
“Pada akhir masa jabatan Jokowi, tren indeks persepsi korupsi meluncur ke bawah sangat cepat. kalau tidak ada perbaikan, maka indeks itu akan meluncur lebih cepat lagi pada tahun-tahun mendatang,” imbuhnya.
Tak hanya itu, dua indeks yang lain yaitu demokrasi dan kebebasan pers juga menurun tajam. Kebebasan pers meluncur ke level 51,2 artinya media alami kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu dengan apa adanya. Indeks demokrasi juga turun tajam dilihat pada kejadian di Pilpres 2024 dan Pilgub.
Tiga indikator di atas adalah indikator yang valid, tentang kemerosotan yang terjadi di Indonesia. Sehingga yang dikhawatirkan, ketika ‘tipping point’ masalah itu muncul bersamaan, maka Indonesia akan sangat parah.
“Hal-hal buruk di atas bisa terjadi ketika para ‘pemain’ negara bermain dengan tidak mengindahkan aturan yang ada, jadi bukan karena cerdas ataupun hal lainnya para elite yang ada juga bermain tanpa koridor etika dan moral” tambahnya.
Prof. Didin S. Damanhuri selaku Ekonom Senior INDEF dan Guru Besar Universitas Paramadina mengungkapkan banyak masalah moral berbangsa yang kompleks dan berat, sedang melanda Indonesia saat ini. Dalam 2 tahun terakhir, ada teater dari pemimpin yang ambisius ingin berkuasa selama 3 periode yang gagal.
Kemudian dilanjutkan lagi upaya penundaan pemilu yang juga gagal dan akhirnya ditempuh dengan merekayasa MK dan KPU sehingga terpilihlah Gibran Rakabuming Raka, sang anak, menjadi wakil presiden dengan segala kontroversinya.
Setelah pemilu 2024, Didin mengemukakan bahwa muncul gugatan tentang Pilpres yang disebutkan penuh kecurangan, dengan segala bukti yang disampaikan. Namun pada akhirnya ketua MK memutuskan bahwa Hasil Pemilu 2024 sah meski ada 3 dissenting opinion dari hakim MK.
“Muncul ekosistem politik yang sungguh buruk secara moralitas, ketika Airlangga Hartarto dipaksa mundur sebagai Ketua Umum Golkar. Spekulasi yang beredar yang bersangkutan telah dipanggil oleh Jokowi dan berdiskusi selama 2 jam, dimana akhirnya Airlangga memilih mundur sebagai ketua Golkar dan ajaibnya pemanggilan dirinya oleh Kejaksaan menjadi batal,” tutur Didin.
“Juga kasus lain seperti pemaksaan membuka jilbab kepada 18 wanita Paskibraka oleh BPIP padahal pada tahun-tahun sebelumnya dibolehkan,” tambahnya.
Dalam penuturannya Didin mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan ilustrasi gambaran terjadinya krisis moral kepemimpinan yang berdampak sangat luas selama 10 tahun terakhir.
“Dengan berbagai peristiwa yang memperlihatkan terjadinya pelanggaran etik berat misalnya oleh ketua MK yang meloloskan Gibran, juga ketua KPU yang berbuat hal sama” imbuhnya.
“Niccolo Machiavelli dalam bukunya ‘Il Principe’ menyatakan terjadinya kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Kondisi krisis moral dalam kepemimpinan saat ini yang tanpa preseden dalam sejarah bangsa, juga berbarengan dengan krisis moral yang terjadi pada masyarakat itu sendiri” kata Didin.
Secara singkat Didin menuturkan setelah 10 tahun, nampaklah bahwa gejala otoritarianisme baru muncul dengan diberangusnya tokoh-tokoh kritis partai politik begitu juga civil society yaitu dengan cara merekayasa hal tertentu agar sosok seperti Anies Baswedan bisa dihalangi untuk menjadi pesaing politik. Dampaknya, terbangun suasana ketakutan pada pers, tokoh parpol, dan hilangnya kontrol oleh civil society.
Dalam Machiavelian politik juga berdampak pada ekonomi di mana semua kekuatan civil society ditentukan dengan rekayasa tertentu, termasuk di dalamnya penawaran konsesi tambang.
“Kebijakan ekonomi pun lebih pada pendekatan kekuasaan yang alokasi APBN pun diarahkan pada besarnya proyek-proyek mercusuar seperti IKN, kereta cepat, yang berdampak pada semakin tipisnya ruang fiskal yang tersedia” tegas Didin.
Ketua Institut Etika dan Peradaban Universitas Paramadina, Pipip Rifai Hasan, melihat persoalan sekarang yang dihadapi ini adalah adanya kesenjangan atau diskrepansi antara dua etika yaitu yang satu adalah etika modern dan satu lagi etika tradisional.
“Kita bisa melihat bagaimana misalnya ada perubahan aturan KPU tentang usia presiden dan wakil presiden tanpa didahului oleh perubahan undang-undang yang merupakan wewenang dari DPR. Jadi sebenarnya seseorang yang belum memenuhi syarat umur sebagaimana diatur dalam undang-undang yang ada itu tidak bisa diberlakukan tanpa perubahan terlebih dahulu undang-undang itu sendiri yang seharusnya dilakukan oleh DPR” tuturnya.
Demikian juga aturan tentang umur kepala daerah dan waktu Pilkada dilaksanakan itu seharusnya juga didahului oleh perubahan undang-undang yang mengatur masalah tersebut.
Kemudian bagaimana seorang pemimpin bisa seenaknya mempengaruhi proses politik yang anggota keluarganya bisa menjadi pejabat yang dipilih tanpa harus melalui proses perjuangan politik dalam sebuah partai misalnya atau juga praktik bagaimana seorang presiden langsung membagikan bantuan yang seharusnya bisa merupakan tugas dari birokrasi dan seharusnya tidak ada identifikasi bantuan dari negara atau pemerintah seolah-olah merupakan kebaikan hati dari seorang presiden.
“Sudah seharusnya kita melihat bagaimana orang-orang yang berpendidikan pun tidak sedikit yang justru memanfaatkan dan membantu terbangunnya suatu perilaku politik yang sebenarnya tidak sesuai dengan konsep politik modern yang tertulis dalam UUD 1945 yang telah diputuskan dan disepakati oleh para founding fathers dan diterima oleh Rakyat Indonesia 79 tahun yang lalu yaitu sejak kita memperoleh atau merebut kemerdekaan,” kata Pipip.
Pipip melihat Etika politik menuntut kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral).
Ketiga tuntutan itu disebut sebagai legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tiga tuntutan itu. Legitimasi etis mengandaikan bahwa kekuasaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia. Legitimasi etis tidak dapat dituntut dari kekuasaan yang dipahami sebagai realitas supernatural.
“Paham kekuasaan pribumi tradisional tidak memerlukan tuntutan etis, kekuasaan menjadi sah ketika seseorang berhasil berkuasa tanpa harus mempedulikan cara memperolehnya dan bagaimana kekuasaan itu digunakan. Sejauh penguasa itu mampu memegang dan menjalankan kekuasaannya, bisa menjamin kemakmuran dan keamanan negara dan rakyatnya dan si penguasa tampak baik hati, berbudi dan murah hati, maka itu sudah cukup menjadikan kekuasaannya sah,” imbuh Pipip.
“Berbeda dengan itu, dalam paham kekuasaan pribumi mitos tradisional legitimasi kekuasaan tidak mendapat pembenaran atau pengesahan dari luar, berdasarkan pada norma-norma etis, melainkan membenarkan dirinya sendiri. Tidak ada kewajiban pertanggungjawaban untuk mundur atau bahwa rakyat “berhak” untuk menuntut suatu pertanggungjawaban. Barangkali rakyat mengharapkan atau memperkirakan bahwa raja akan jatuh. Barangkali rakyat mencoba untuk menjatuhkannya tetapi tidak dapat dikatakan bahwa rakyat mempunyai “hak” untuk berbuat demikian,” tegasnya.
Ia mengungkapkan mengenai bagaimana upaya untuk memperketat pegangannya yang mutlak atas kekuasaan bisa dilihat bagaimana dalam periode akhir dari kekuasaannya, sang pemimpin secara terus menerus membuat keputusan-keputusan strategis yang bakal mempengaruhi kebijakan-kebijakan penggantinya.
Dalam negara modern presiden yang akan digantikan tidak bisa membuat Keputusan yang bersifat strategis dan jangka Panjang. Kemudian harus memberikan keleluasaan dan kesempatan kepada penggantinya untuk membuat keputusan dan kebijakan sesuai dengan visi dan rencana yang dijanjikannya.