5 Pasal di RUU Perampasan Aset Bisa Rugikan Rakyat Kecil

Intime – Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Harris Arthur Hedar menyarankan agar pembahasan pasal-pasal kontroversial di Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset diperjelas.

RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa tersebut. Namun, Harris menilai ada lima pasal yang perlu dicermati.

“RUU ini punya tujuan mulia, tetapi ada lima pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara,” ungkap Prof. Harris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (17/9).

Ia menilai ada lima pasal dalam RUU Perampasan Aset yang menyisakan kontroversial dan mengandung multitafsir, sehingga sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.

Berikut adalah kelima pasal yang disoroti oleh Prof. Harris:

1. Pasal 2

Mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana, di mana masalah yang timbul berupa penggeseran asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap tidak sah.

2. Pasal 3

Aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Hal tersebut akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana, yang berisiko masyarakat bisa merasa dihukum dua kali, yaitu aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

3. Pasal 5 ayat (2) huruf a

Pasal ini menyatakan perampasan bisa dilakukan jika jumlah harta dianggap “tidak seimbang” dengan penghasilan sah. Prof. Harris menyoroti frasa “tidak seimbang” yang sangat subjektif. Sebagai contoh, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

4. Pasal 6 ayat (1)

Pasal ini mengatur bahwa aset senilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Batas nominal ini dianggap bisa menyebabkan salah sasaran. “Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp100 juta,” ujar Prof. Harris yang juga Wakil Rektor Universitas Jayabaya.

5. Pasal 7 ayat (1)

Pasal ini memungkinkan aset tetap dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Hal ini berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beriktikad baik. Misalnya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan karena orang tuanya pernah dituduh melakukan tindak pidana.

Oleh karena itu, Harris berharap proses perampasan pada RUU Perampasan harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik, sehingga proses perampasan harus terbuka serta diawasi media dan masyarakat.

“Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak,” ungkap dia.

Tak hanya itu, diharapkan pula sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan secara masif sebelum implementasi RUU Perampasan Aset. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti.

Karena ibarat pedang bermata dua, dirinya menilai rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi, sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini