Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terus bergulir. Meskipun, secara terang benderang menerjang Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kali Ini, Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Panjaitan, bahwa analisis big data menujukkan ratusan juta pengguna media menginkan jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
Namun, hal itu dibantah oleh Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD), La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Dia menyebut, klaim Luhut bahwa ratusan juta pengguna media sosial aktif membicarakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden berlebihan.
“Pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan analisis big data yang kami miliki, percakapan tentang Pemilu 2024 di platform paling besar di Indonesia, yaitu Instagram, YouTube, dan TikTok tidak sampai 1 juta orang,” kata ketua DPD melalui keterangan tertulis, Sabtu (12/3).
La Nyalla menyatakan, hanya 693.289 akun yang terlibat dalam percakapan mengenai wacana penundaan Pemilu 2024. Jumlah itu, antara lain berasal dari 87.000 percakapan di YouTube, 134.000 di Instagram, dan 454.000 di TikTok.
“Media sosial paling ribut, seperti Twitter, percakapan tentang pemilu hanya melibatkan 17.000 akun,” beber dia.
Berdasar big data yang dipantau, ketua DPD justru menyebutkan percakapan pemilu tak sebesar percakapan ibu-ibu dan masyarakat umum mengenai kelangkaan minyak goreng, gula pasir, dan komoditas kebutuhan rumah tangga lainnya.
“Justru dari big data terlihat jika masyarakat lebih menitikberatkan perhatian mereka pada kelangkaan dan antrean ibu-ibu saat membeli minyak goreng. Dari big data tersebut percakapan tentang minyak goreng yang hilang dari pasaran mencapai 3.272.780 percakapan,” ungkap La Nyalla.
Ketua DPD kembali menegaskan bahwa pernyataan Menko Luhut Pandjaitan bahwa ada 110 juta pengguna media sosial membicarakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak kredibel. Bahkan, La Nyalla menyebutkan sentimen negatif pemberitaan tentang penundaan Pemilu 2024 cenderung meningkat.
“Hingga Jumat (11/3) sore, kecenderungan sentimen negatif terhadap wacana ini meningkat. Skornya sudah melebihi 50 persen jika dibandingkan pada skor sentimen pada Februari 2022, termasuk adanya peningkatan emosi anger (marah) sebesar 8%,” tandas La Nyalla.