KH. Lutfi Hakim Dorong Tata Kelola Air Jakarta Berbasis Nilai Sosial dan Spiritualitas

Intime – Ketua Panitia Lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jakarta, KH. Lutfi Hakim, menegaskan bahwa air bukan sekadar unsur alam, melainkan sumber kehidupan yang memiliki dimensi spiritual, budaya, dan sosial yang mendalam.

Pernyataan itu disampaikan dalam kegiatan bertema “Menakar Masa Depan Air di Jakarta, Akankah Menjadi Air Mata?” yang digelar oleh MUI Provinsi Jakarta bekerja sama dengan PAM Jaya di Jakarta, Senin (6/10).

“Air adalah sumber kehidupan itu sendiri. Dan itu diakui sejak peradaban manusia dimulai,” kata Lutfi dalam sambutannya.

Ia menjelaskan, air tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti minum, memasak, dan kebersihan, tetapi juga memiliki makna simbolik dalam berbagai tradisi agama dan budaya di dunia.

“Pemahaman tentang air melampaui dimensi materialnya sebagai substansi fisik. Ia juga mencakup aspek keagamaan, filosofi, dan adat istiadat yang hidup di masyarakat,” ujarnya.

Dalam perspektif Islam, lanjut Lutfi, air bahkan menempati posisi penting sebagai elemen yang menyucikan.

“Dalam Islam, air digunakan untuk wudu dan mandi besar sebagai syarat kesucian sebelum ibadah. Bahkan dalam kitab fikih, dari yang tipis sampai yang tebal, bab pertama selalu tentang air,” tuturnya.

Air juga menjadi simbol kesuburan dan harmoni dalam berbagai tradisi budaya Nusantara. Ia mencontohkan tradisi siraman di Jawa, upacara melukat di Bali, hingga ritual air suci di masyarakat adat Dayak dan Maori.

“Dalam budaya Betawi pun, air punya makna mendalam sebagai simbol kehidupan dan kesegaran. Dulu ada kendi dan kentong, lalu dalam pernikahan ada roti buaya—semuanya tak lepas dari simbol air,” katanya sambil tersenyum.

Namun, Lutfi menilai, makna spiritual air kini tergerus oleh tantangan modernitas, termasuk persoalan privatisasi dan komersialisasi air.

“Kehadiran aturan baru seharusnya memastikan bahwa transformasi korporasi tidak menggeser orientasi sosial PAM Jaya. Justru layanan kepada kelompok rentan dan fasilitas publik harus tetap dilindungi secara hukum,” tegasnya.

Menurutnya, prinsip tata kelola yang baik—transparansi, akuntabilitas, serta orientasi pelayanan publik—harus berjalan beriringan dengan penguatan profesionalisme bisnis.

“Transformasi PAM Jaya menjadi perseroda harus dibaca sebagai momentum untuk memperkuat dua hal sekaligus: profesionalitas bisnis dan tanggung jawab sosial,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Forum Betawi Rempug (FBR) ini juga menyoroti kondisi air di Jakarta yang masih jauh dari ideal.

“PAM Jaya ini bisa menjadi perusahaan air minum, tapi bisa juga menjadi perusahaan air mata. Sayangnya, sekarang baru sampai pada perusahaan air mandi, karena airnya belum bisa diminum,” ujarnya.

Ia menegaskan, lokakarya ini menjadi wadah bagi berbagai pemangku kepentingan untuk merumuskan gagasan dan rekomendasi kebijakan pengelolaan air yang lebih baik di Jakarta.

“Lokakarya ini diharapkan menjadi ruang lahirnya ide, pemikiran, dan rekomendasi yang bisa dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi Jakarta dalam mengambil kebijakan terkait air,” ujar dia

Bagi Lutfi, air bukan hanya persoalan infrastruktur dan bisnis, tetapi juga refleksi tentang kehidupan, kebersamaan, dan masa depan Jakarta.

“Air bisa menjadi sumber kehidupan, tapi jika tak dijaga, ia juga bisa berubah menjadi air mata,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini