Saya dan kita semua mungkin terbiasa hidup di lingkungan yang ‘ramah’ praktek perdukunan. Mungkin ada di sekitar rumah kita. Atau bahkan dalam rumah kita sendiri. Entahlah. Praktik ini hidup berdampingan dengan masyarakat modern. Tidak hanya di kampung-kampung. Juga tidak hanya hidup dalam urusan kebudayaan tradisional masyarakat di desa-desa. Praktik perdukunan bahkan masuk dan menyusup dalam praktik politik, bernegara, berbisnis bahkan berolahraga. Ini menjadi sangat serius.
—————
Pergi ke pasar cari jajanan.
Naik delman turunnya di perempatan.
Kalau hujan mau dialihkan.
Panggil ilmuan bukan jampi-jampian.
Seminggu ini, ada dua praktik perdukunan yang menyedot perhatian. Menyita energi. Menimbulkan kontroversi. Ada yang berdecak kagum. Tapi tak sedikit yang mencerca.
Praktek perdukunan telah menyusup, masuk dalam urusan politik pemerintahan dan juga olahraga otomotif. Peristiwa pertama terjadi saat peresmian titik nol Ibukota negara di Nusantara, Kalimantan Timur, Senin (14/3/2022).
Kedua; di sela-sela perhelatan akbar MotoGP, Mandalika, NTB, Minggu (21/3). Keduanya berjarak hanya tujuh hari.
Dua peristiwa itu spektrumnya sama sekali berbeda dan bertolak belakang satu dengan yang kedua. Politik adalah praktik bernegara yang sarat dengan strategi dan rasionalitas. Sementara MotoGP adalah olahraga yang juga kaya akan kalkulasi dan perhitungan.
Tapi pada keduanya menyusup praktik perdukunan. Klenik. Pada kedua peristiwa itu, nilai tawar Pawang Hujan (biasa disebut pengontrol/pengendali hujan) di atas segalanya. Ia ditempatkan di atas rasionalitas publik. Lebih tinggi posisinya daripada Profesor bidang rekayasa cuaca. Padahal politik dan olahraga mestinya clear dari urusan irasionalitas. Sebab, keduanya matematis dan mekanis. Bukan mistis.
Boleh jadi, pelibatan pawang hujan pada acara negara di IKN dan MotoGP, Mandalika itu bermotif baik. Ingin agar dua momentum itu berlangsung lancar. Supaya jarak pandang masyarakat tidak terganggu oleh guyuran hujan. Apalagi pada acara MotoGP. Setiap orang tentu ingin menceritakan sendiri melihat Miquel Oliviera menaklukan sirkuit Mandalika. Merasakan ketegangan menyaksikan pembalap jagoan memacu pedal gas. Membuntuti lawan tanding, menyalip di tikungan, selebrasi dst. Apalagi, kedua acara itu dihadiri Presiden Joko Widodo. Tentu motif itu kita acungkan jempol.
Tetapi, “menyandarkan” kuasa merekayasa cuaca pada pawang hujan sama artinya dengan membenamkan kekuatan logika ilmu pengetahuan dalam kubang kebodohan. Ada begitu banyak ilmuwan perekayasa cuaca di Indonesia. Sebagian besar mungkin mengabdi di BMKG. Sayang, mereka kalah pamor dengan pawang hujan. Kuasa ilmu pengetahuan tersungkur oleh kuasa pencitraan.
Dengan pengetahuan yang dimiliki para ahli, prilaku cuaca bisa diprediksi secara tepat dan cermat. Bahkan mereka juga mampu merekayasa cuaca. Misalnya; menurunkan hujan di satu lokasi agar intensitas hujan di lokasi lain berkurang drastis.
Dengan memperhitungkan arah angin yang tepat dan sentuhan pengetahuan fisika yang sederhana, hujan bisa dimodifikasi. Tapi itu tak terdengar pada dua agenda besar negara dalam seminggu ini. Yakni peresmian IKN di Kaltim dan penyelenggaraan MotoGP di Sirkuit Mandalika. Sampai kapan kita begini.
Dalam konteks diatas, “menyandarkan” kepercayaan pada pawang hanya akan menyesatkan. Membawa pada kegelapan.
Sebaliknya, percaya pada ilmu pengetahuan adalah pilihan. Sebab, Ilmu pengetahuan akan terus menjawab semua pertanyaan-pertanyaan. Ilmu adalah cahaya. Bukan bahaya. Al-ilmu nuurun wal jahlu dlaarun. Karena percaya pada dukun hanya akan buatmu pikun. Percaya pada pawang hanya akan buatmu seperti sisaan bawang. (JRD).