Oleh: Muhammad Syukur Mandar (Waketum KAHMI JAYA)
Musyawarah Nasional (Munas) ke-IX Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) akan dilaksanakan pada 24-28 November 2022, di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Rencananya, Presiden Jokowi akan hadir dan membuka hajat lima tahunan KAHMI tersebut. Sejumlah persiapan dilakukan oleh Majelis Nasional (MN) KAHMI, melalui panitia nasional dan panitia lokal.
Tak dapat dipungkiri, Munas KAHMI ini tercium aroma politis. Tentu saja lumrah, oleh karena beragam latar belakang alumni berhimpun didalamnya, politisi lintas partai, pengusaha, kalangan profesional, akademisi dan lain-lain.
Semua ini akan menjadi kekuatan besar, bila dihimpun dalam munas yang fair dan terbuka untuk semua.
Secara ideal, KAHMI memang tidak berpolitik, tetapi sebagai wadah berhimpun jutaan alumni HMI, tentu saja KAHMI menjadi satu faksi besar yang representatif.
Karenanya, peran strategisnya akan memiliki pengaruh secara linear dengan konstalasi politik nasional. Sebab, itulah bursa pencalonan Presidium Nasional menjadi menarik untuk diperhelatkan.
Bahwa kontruksi ideal susunan Presidium adalah lima orang, sebab dengan limit waktu jabatan, masing-masing anggota Presidium dapat silih berganti dalam jangka waktu satu tahun memimpin sebagai Korpres.
Tetapi, konstruksi ideal itu harus dikalahkan oleh argumentasi KAHMI sebagai wadah berhimpun, karena itu harus mewadahi semua kalangan dan kepentingan di dalamnya.
Saya merenungkan, andai KAHMI presidiumnya diisi oleh tokoh profesional dan akademisi. Maka, roh independensinya akan kokoh, selain ruang geraknya akan dinamis, KAHMI juga akan kritis dalam mengawal agenda bangsa.
Namun saya sadari, bahwa energi besar KAHMI saat ini masih diperoleh dari asupan energi politik. Karena itu atmosfirnya sangat terasa politis.
Alih-alih munas ini dah melenceng dari asas organisasi yang menganut prinsip kekeluargaan dan persamaan hak dalam munas.
Pansel yang dibentuk untuk menyeleksi para calon Presidium, diisi oleh para tokoh yang kredibel, berkapasitas dan mumpuni secara akademis. Tak diragukan kerja kerja mereka dalam menyusun agenda strategis KAHMI ke depan.
Tetapi, tentu saja kapasitas timsel yang mumpuni itu tidak untuk menggugurkan calon anggota Presidium. Sebab, persamaan hak menjamin anggota KAHMI dicalonkan dan mencalonkan.
Di situlah roh ke-KAHMI-an kita rajut dan pelihara. Yang menggugurkan seorang calon adalah tidak memenuhi syarat pencalonan.
Dan forum pleno munaslah yang kompeten untuk itu. Langkah timsel ini pembuka konflik interes yang kompleks, bukan tidak mungkin ini jadi embrio perpecahan untuk kesekian kalinya.
Mari bijak dalam memutuskan aturan main, apalagi menyangkut hak seseorang yang dipertaruhkan, mereka yang mendaftar punya resening untuk ikut ambil bagian, biarkan mereka gugur karena legitimasi forum, agar kehormatannya sebagai alumni terjaga, selain mereka puas secara bathin untuk ikut ambil bagian dalam proses munas.
Putusan menggugurkan calon mendikotomi alumni, selain itu menimbulkan presepsi a politis, apa alasan calon yang lolos, dan apa kekurangan calon yang digugurkan, itu determinasi politik diskriminasi, selain membuat curiga pada pansel, munas dianggap dilakukan dengan kecurangan diawal. Ini semua akan berpotensi jadi bom waktu bagi perpecahan di Munas.