Ormas yang diberikan konsesi tambang bisa berbuntut panjang. Pangkalnya, hal tersebut menerjang konstitusi negara.
“Berpotensi melanggar konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” kata Pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi dalam diskusi daring bertajuk “Ormas Agama Urus Tambang Buat Apa?”, Sabtu (8/6).
Fadhi menerangkan, Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dikuasai oleh negara yang termaktub dalam Pasal 33 itu, kata Fahmy, direpresentasikan oleh BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta.
“Yang diberikan prioritas untuk pengelolaan konsesi tambang itu BUMN dan BUMD sementara yang swasta itu harus biding (lelang),” tegas.
“Kemudian negara memungut royalti, pajak dan lain sebagainya yang didistribusikan ke rakyat melalui APBN,” sambung Fahmy.
Dia menyatakan, negara berfungsi mendistribusikan kekayaaan alam dan DPR RI yang akan berperan mengawasi hal tersebut.
Menurut Fahmy, jika fungsi distribusi kekayaan alam itu diserahkan kepada ormas keagamaan tidak ada yang mengawasi sehingga akan terjadi moral hazard.
“Jadi ini melanggar konstitusi pasal 33 UUD 1945 dalam konteks distribusi kekayaan untuk kemakmuran rakyat tidak bisa dipindahkan dari negara ke ormas,” tandas dia.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Aturan itu memberikan ruang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Pemerintah menyisipkan pasal 83A yang mengatur pemberian IUPK kepada ormas keagamaaan.
“Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” demikian bunyi Pasal 83A ayat 1, dikutip Jumat (31/5).