UU TNI Diuji di MK, Pemohon Desak Semua Prajurit di Jabatan Sipil Harus Pensiun

Intime – Pemohon uji materiel Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) meminta Mahkamah Konstitusi mengatur ketentuan prajurit di seluruh jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.

 

Perkara ini tercatat dengan Nomor 68/PUU-XXIII/2025. Para pemohon adalah Prabu Sutisna, Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin dan Chandra Jakaria.

 

Keenam orang pemohon yang terdiri atas advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa itu menggugat Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Mereka meminta supaya Mahkamah Konstitusi mengatur seluruh prajurit yang menduduki jabatan sipil, termasuk pada 14 kementerian/lembaga yang diizinkan pada Pasal 47 ayat (1), wajib mundur ataupun pensiun.

 

“Para pemohon mengajukan permohonan pengujian materiel Pasal 47 ayat (2) UU TNI agar ketentuan a quo (tersebut) tidak ditafsirkan secara serampangan tanpa ada batasan yang jelas pada pemegang kekuasaan pemerintahan,” kata salah satu pemohon, Prabu Sutisna, dalam sidang pendahuluan di MK, Jakarta, Jumat (9/5).

 

Pasal 47 ayat (2) UU TNI sejatinya berbunyi “Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

 

 

 

Sementara itu, Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengatur bahwa prajurit dapat menduduki jabatan pada 14 kementerian/lembaga tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

 

Artinya, Pasal 47 ayat (2) UU TNI memberikan privilese atau hak istimewa kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tertentu. Namun, prajurit TNI yang hendak menduduki jabatan sipil lain selain yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) diwajibkan mundur atau pensiun.

 

Menurut para pemohon, beleid tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum serta bertentangan dengan doktrin supremasi hukum yang mewajibkan adanya pemisahan tegas antara ranah militer dan sipil. Ketentuan itu dinilai dapat membuka celah bagi intervensi militer dalam ranah pemerintahan sipil.

 

“Para pemohon bertanya-tanya, bagaimana jika prajurit TNI tersandung kasus tindak pidana atau administrasi dalam jabatan a quo apakah tunduk pada hukum acara peradilan militer atau hukum acara sipil? Menurut penalaran yang wajar, jawaban dari pertanyaan a quo hanyalah ketidakpastian hukum,” kata Prabu.

 

 

 

Selain itu, para pemohon juga merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pasal 47 ayat (2) UU TNI dinilai tidak mengedepankan prinsip supremasi sipil yang menempatkan kepentingan warga sipil terlebih dahulu dalam menduduki jabatan di pemerintahan.

 

Oleh sebab itu, mereka meminta MK menyatakan Pasal 47 ayat (2) UU TNI bertentangan dengan konstitusi dan memaknai pasal tersebut menjadi “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

 

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini